Chapter 20

36.4K 3.2K 950
                                    

Sorry for typo.
Happy reading.

****

Valdos's POV

Bulan Mei kulewati dengan penuh kegelisahan, kehampaan, juga kerinduan.

Gelisah memikirkan Lily, hampa dia telah benar-benar menjauhiku, dan rindu akan dirinya yang sejatinya pun bukan siapa-siapaku.

Satu bulan dua minggu sudah genap aku dan Lily berpisah. Berpisah di saat bahkan belum menjalin apa pun. Kupikir dia hanya gadis muda yang dapat dengan mudah kulupakan, namun ternyata dialah warna baru yang selama ini kunantikan.

Dia hampir mewarnai kehidupanku, namun sebelum dia benar-benar mewarnainya, dia menjauh bagai cat yang tumpah dari mangkok lukis.

Benar rumahnya hanya di depan sana. Tetapi kini aku jarang, bahkan bisa dikatakan tak pernah lagi melihatnya sebebas lalu. Satu-satunya kesempatanku untuk melihatnya adalah di hari minggu, di dalam gereja. Dan selama ini, aku tak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Setiap selesai beribadah, dia langsung pulang duluan. Hanya kedua orang tuanya yang berbincang hangat denganku. Aku rasa Mr. Harlow beserta istrinya belum tahu tentang ini, tentangku dan Lily yang tidak lagi sedekat dulu. Tentang dia yang telah mengambil keputusan untuk menyudahi kedekatan kami.

Aku tak tahan hanya berdiam diri begini. Aku tak tahan lagi untuk tidak bertemu dengannya lebih lama lagi. Enam minggu sudah terlalu lama, aku tak bisa lagi membiarkannya kian jauh dari pandanganku. Aku masih berharap, aku masih sangat ingin mencoba.

"Aku akan ke rumah Mr. Harlow."

"Masalah pekerjaan?" Ibu bertanya.

"Um," sahutku pelan. Bukan tentang pekerjaan, malam ini aku mendatangi rumah Dozan Harlow untuk bertemu langsung dengan Lily.

Aku takkan senekat ini mendatangi rumahnya apabila dia tak memblokirku di instgram, mengunci instagramnya, dan saat aku membuat akun baru demi melihat kesehariannya, dia memblokirku kembali. Dia tahu itu aku.

Dia juga mengganti nomor, dan aku tak mungkin meminta nomornya dari Dozan Harlow. Itu tidak jantan.

Berjalan kaki aku menuju rumah Lily. Belum mengganti pakaian, aku masih memakai setelan jasku karena aku dan Alfred baru saja menemui seorang pebisnis baru. Pria perintis yang tertarik mengajak kami berdua bekerjasama dalam menjual belikan tanah juga bangunan-bangunan tua.

Masih jam delapan. Lily belum tidur. Aku tahu para gadis suka begadang, terlebih dia seorang mahasiswa yang memiliki banyak tugas-tugas kuliah.

Kutekan bell rumah Lily. Belum sampai aku menekan yang kedua kali, pintu bercat putih di depanku terbuka, menampakan istri Dozan yang langsung memasang senyum ramah.

"Selamat malam, Mrs. Harlow," sapaku ramah.

"Mr. Yordanov? Selamat malam. Mari, masuklah." Istri Dozan menoleh, dia memanggil suaminya.

"Masuklah, Mr. Yordanov. Duduklah." Sangat ramah, aku tersenyum, mengangguk kemudian melangkah masuk menuju sofa.

Mataku berkeliaran, mencari-cari keberadaan Lily yang tak kutemui di ruangan ini. Dia pasti berada di kamarnya, bermain ponsel dan entah dengan siapa saja dia bertukar pesan.

Dozan datang, melempar senyum lebar padaku. Senyum menawan Lily ternyata dia dapati dari ayahnya. Sorot mata mereka bahkan sangat mirip. Sama tegasnya.

"Selamat malam, Mr. Harlow."

"Selamat malam, Mr. Yordanov. Ada apa? Gentingkah?"

Kami berjabat tangan. Dozan dan istrinya kini duduk di hadapanku. Raut wajah mereka penuh tanda tanya.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang