Chapter 44

35.2K 2.4K 524
                                    

Author's POV

One month later ....

Catedral da Se de Sâo Paulo menjadi saksi atas janji suci Valdos Roscoe Yordanov kepada Belmira Lily Harlow. Pernikahan sakral itu berlangsung penuh haru, dan menjadi pembicaraan di seluruh mulut penduduk warga negara Brazil.

Momen yang dinanti-nantikan Valdos dalam hidupnya, momen yang ia sangka takkan pernah ada, kini telah ia lalui meski dengan tangan gemetar juga keringat dingin. Saat tadi ia usai sematkan cincin kawin pada jari manis Lily, ia menitikan air mata hingga berbalik badan, memunggungi Lily lantas menekan kelopak matanya.

Lily terkekeh menahan haru. Tangannya pun ikut gemetar tatkala ia sematkan pula cincin kawin di jari manis Valdos, mengikat pria itu menjadi suaminya, pendampingnya di seumur hidup. Selamanya bersama.

"Dozan. Putrimu telah menjadi milikku," ucap Valdos menggunakan mic. Mengundang tawa semua orang dan di sana, Dozan bertepuk tangan sembari mengulum bibir, membiarkan wajahnya ditampilkan di layar proyektor, memperlihatkan kedua matanya yang memerah.

"Dad, terima kasih telah memilihkanku pria seluar biasa dirinya," kata Lily juga melalui mic.

"Dia priamu, Sayang. Selamat berbahagia." Dozan berteriak untuk Valdos dan Lily di atas altar lalu semua orang bertepuk tangan.

Setelah bertahun-tahun, ini hari pertama Dozan dapat bernapas dengan lega. Tugasnya selesai, balas budinya telah terlaksanakan. Valdos pantas mendapatkan putrinya, Valdos pantas menikahi putri tunggalnya yang amat ia cintai itu. Kebaikan dibalas dengan kebahagiaan, Dozan merasa ini sangatlah imbang. Valdos pantas mendapat kebahagiaan sebesar ini setelah kebaikan luar biasa yang pernah ia berikan pada Dozan hingga menyelamatkan kehidupan Dozan sampai di detik ini. Bahkan juga kehidupan Lily.

"Sial. Aku tidak ingin menangis." Dozan menyeka matanya memakai tissue. Ia bilang tak ingin menangis, tetapi matanya terus saja basah.

Di samping sang ibu Alfred berdiri. Ia usap-usap punggung Matilda lembut, memeluk Matilda yang terenyuh hingga menangis tak tertahankan. Matilda sudah tua, tinggal menunggu kapan ajal menjemput, dan di waktu-waktu terakhirnya, mimpinya untuk melihat salah satu putranya menikah pun terwujud.

Alfred terus memandang ke depan, lingkar matanya juga memerah ikut merasa bahagia. Ia pernah berjanji untuk takkan melangkahi Valdos, ia pernah berjanji untuk takkan menikah sebelum sang kakak menikah. Ia begitu menghormati Valdos, dan tak ingin membuat Valdos sedih dengan cara ia lebih dulu menikah lalu memiliki keturunan. Alfred ingin Valdos terus berada satu langkah di depannya.

Valdos sangat luar biasa sebagai seorang anak sekaligus kakak. Di mata Alfred, Valdos pun tak ubahnya dari seorang ayah. Valdos sangat memotivasinya untuk selalu berjuang, tak kenal lelah atau merasa rendah diri. Sedari usia muda, Valdos telah dididik begitu keras oleh ayah mereka. Valdos sangat disiplin, Alfred bahkan ingat bagaimana Valdos dihukum oleh ayah mereka hanya karena sedikit lalai.

Hormat, segan, bahkan juga rasa salut luar biasa Alfred berikan pada Valdos. Valdos tak pernah menunjukkan kesakitannya, kelelahannya, atau kejenuhannya. Saking kerasnya didikan ayah mereka, Valdos pernah menentang mendiang sang ayah untuk jangan memperlakukan Alfred seperti beliau memperlakukan Valdos.

Valdos tak ingin masa muda Alfred hanya dipenuhi oleh kerasnya didikan. Valdos tak ingin Alfred merasa terkekang dan tak memiliki kebebasan sepertinya. Sebab Valdos sadar, menuju hari tua itu pasti, sementara masa muda hanya sekali. Valdos ingin Alfred mendapatkan kebebasannya tanpa seribu satu peraturan seperti yang ia dapatkan.

Alfred mengulas senyum hangat memandang Valdos di atas sana. Ia tak pernah merasa sebahagia ini. "Jika Lily tak lahir, entah dia akan menikah atau tidak," celetuk Alfred dan ia terkekeh.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang