Chapter 28

29.2K 3.1K 963
                                    

Valdos's POV

Tepat di depan Lily kuberhentikan mobilku. Semua kaca kututup rapat, aku tak ingin ada yang melihatku kemudian kembali menjelek-jelekkan Lily di kampus. Kasihan dia, aku tahu dia malu.

Lily mendekat ke pintu lalu kubukakan pintunya dari dalam. Setelah dia masuk dan duduk di sebelahku, segera aku berputar arah, meninggalkan daerah universitas besar ini. Ada beberapa mahasiswa di depan sana, kuharap mereka tak melihat Lily saat masuk ke dalam mobil.

Lima menit aku mengemudi akan langsung mengantarnya pulang, dan selama itu aku beserta Lily hanya diam. Tak ada yang ingin kubahas dengannya mengenai tadi, cukup tahu dia benar-benar adalah kekasih Benicio dan bukan milikku. Aku boleh cemburu, tetapi bukan hakku untuk marah padanya. Sekali lagi, dia bukan milikku.

"Boleh kutahu sesakit apa hatimu sekarang?"

Kuhela napasku pelan. "Tidak sakit. Hanya sedikit sesak."

Lily diam. Dia pasti memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasku.

"Aku minta maaf, untuk yang semalam dan yang barusan terjadi."

"Kau tak perlu minta maaf, Miss Harlow. Memang akulah yang tidak tahu diri, seperti katamu, aku tidak punya urat malu."

Kami berhenti di lampu merah, menunggu lampu hijau.

"Bukankah ini masih pukul dua siang? Kupikir kau akan pulang pukul empat," kataku. Kulihat Lily di samping dan ternyata dia sudah lebih dulu menatap sisi wajahku.

"Harusnya pukul empat. Tapi aku ingin bertemu denganmu, memastikan bila kau baik-baik saja setelah setengah mati kau tahan perasaanmu di restaurant tadi." Lily mengulas senyum meski tipis. Matanya tak luput dariku yang juga masih meniliknya. Teduh.

Lampu hijau. Kulajukan kembali mobilku.

"Aku baik-baik saja, Miss Harlow," balasku terkekeh. Kekehan yang terpaksa.

"Kau sangat cemburu. Matamu penuh awan gelap dan hampir menurunkan hujan," katanya.

Aku terkekeh lagi mendengarnya. Ternyata dia tahu aku menahan air mata kecemburuan dan emosi bercampur.

"Lupakan saja. Maaf jika tadi aku mengejutkanmu. Itu hanya kebetulan aku makan di sana bersama supervisorku. Aku tak berniat memantau dua sejoli yang sedang menikmati waktu."

"Rupanya sarkas adalah hobimu."

Kudengar dia terkekeh rendah. Dia mulai memahami diriku dengan baik, dia mulai mengerti akan sifat-sifatku, dan juga mungkin hobiku.

"Mr. Yordanov."

"Yes, Miss Harlow."

Formal dia memanggilku, formal juga aku menyahut padanya. Saat kutahu dia masih ingin bicara lebih banyak, akhirnya kuberhentikan mobilku di tepi jalan. Perumahan kami sudah dekat, jadi baiknya kami berhenti dulu di sini. Mengobrol sampai tuntas.

Kami saling memandang, tanpa kedipan, dan tanpa ekspresi. Kutunggu apa yang ingin dia katakan—di mana mungkin itu akan menyesakkan dadaku kembali.

"Aku ingin kau berhenti menaruh rasa padaku. Tolong biarkan aku menjadi gadis muda pada umumnya, yang memiliki kekasih tanpa perlu memikirkan perasaan orang lain. Mungkin di awal aku telah salah, tetapi faktanya, ternyata memang kaulah yang lebih dulu memiliki perasaan padaku."

"Silakan, Miss Harlow. Silakan. Itu hakmu untuk berpacaran dengan pemuda mana pun. Bukankah aku tak pernah melarangmu untuk itu?" Kupaksakan senyum dengan ramah. Bagian kalimat terakhirnya tak ingin kurespon.

"Tapi kau berharap aku menjaga hati hanya untukmu," katanya. Mimik Lily sangat datar. Tatapnya setegas teriakan panglima perang.

"Kata siapa?" Aku mengernyit, tersenyum ekspresif kemudian bersandar pada pintu mobil. Bersedekap lantas memandang Lily di depan.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang