Chapter 24

33K 3K 592
                                    

Sorry for typo.

****

Lily's POV

"Terserah kau. Aku sangat mencintaimu."

Balasannya membuatku ikut marah di sini. Dadaku bergemuruh mengetahui fakta itu. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang, semuanya benar-benar kacau, semuanya benar-benar berantakkan.

Permainanku sungguh menelanku secara hidup-hidup. Aku tidak tahu kenapa aku semalu ini, kenapa aku harus malu dunia tahu bila aku dekat dengannya, sementara dia tidak seburuk itu. Valdos tidak buruk, aku tahu itu. Tapi benar, aku malu.

"Kau sadar apa yang kau ucapkan? Kau tidak malu? Kau bahkan lebih pantas menjadi ayahku daripada pasanganku," pekikku akhirnya. Kukepal tanganku kuat-kuat.

"Aku tahu." Valdos melebarkan kedua lengannya. Dia menyahut dengan ekspresi yang seolah ingin tersenyum namun getir, dan matanya masih semerah tadi. Dia emosional.

"Aku tahu itu. Itulah sebabnya kau merasa sangat malu. Itulah juga mengapa kau diam-diam berpacaran dengan putra sepupuku, benar? Kalian berpacaran semenjak kau memutus semua komunikasi denganku. Kau ingin tunjukkan kepada semua orang di kampusmu bahwa kau memiliki kekasih yang seusia denganmu, tampan, gagah, dan tentunya tidak bau tanah. Kau membantah rumor tentang kita dengan cara berpacaran dengan pemuda itu. Aku tahu, Lily. Aku tahu."

"Kau banyak bicara, Valdos. Kau terlalu banyak bicara." Tanpa sadar suaraku meninggi, aku membentaknya. Pertama kali dalam hidupku, aku membentak seseorang. Aku membentaknya.

"Memang." Dia menyahut lagi, ekspresif. Bahkan mengedikan bahunya seakan tak peduli. Bibirnya merah sembap.

"Aku tak ingin melihatmu."

"Kau tidak bisa seperti itu, Lily."

Valdos mengejarku, dia tangkap cepat tanganku sampai aku kembali menghadap ke arahnya. Kurasakan emosi kami yang menggebu-gebu, juga dada kami yang sama memburunya.

Rasa sinting menghantamku di sini, aku ingin sekali menangis sembari berteriak, berjongkok lalu mengentak-entakan kakiku pada rumput di bawah, mengamuk padanya. Aku merasa telah terjebak, benar-benar terikat kini.

"Valdos please. Kumohon, kumohon lupakan semua ini. Aku tidak bisa, Valdos. Aku tidak bisa. Kumohon, kumohon menjauhlah dariku. Kumohon." Sampai memohon-mohon aku padanya.

"Menjauh karena kau ingin setia pada pacarmu?"

Aku stress. Demi apa pun, aku stress.

"Benar. Jadi kuharap kau menjauh dariku. Aku ingin setia padanya, aku cinta sekali padanya, aku ingin serius—"

"Kupukul kau di sini, Lily."

Mata basahku membelalak, menahan pelototan dan tanpa sadar kupegangi dadaku sendiri. Ayah katakan Valdos bukan pria yang suka bermain tangan pada wanita. Tapi sampai dia berani mengancamku begini, itu artinya dia benar-benar marah— tidak, dia cemburu. Dia sangat cemburu.

Lama kami bergeming, saling menatap dan membiarkan angin sore membelai kulit kami berdua. Erat dia menggenggam pergelanganku, seakan takut aku hilang dari permukaan bumi.

"Aku akan memanggil—"

"Panggil. Panggil Dozan ke mari, panggil dia agar kukatakan padanya bila putrinya berpacaran dengan lelaki lain, lalu semalam dia menyerahkan kehormatannya padaku. Panggil, panggil ayahmu ke sini." Tangannya menunjuk-nunjuk ke dalam rumah. Dia seserius itu, ya Tuhan.

"Kau tidak waras, Valdos. Kau pria gila," timpalku emosi. Habis sudah akalku menghadapinya, menghadapi pria dewasa ini. Aku tak sanggup lagi mengendalikan alurnya, Valdos-lah yang telah memegang kendali.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang