Chapter 32

34.7K 3K 665
                                    

Valdos's POV

Lily memintaku untuk lebih dulu menunggunya di Café da Cidade, salah satu tempat makan dengan rating tinggi di São Paulo.

Lima belas menit aku dan Alfred menunggu sembari memesan minum untuk kami berdua. Selama menunggu kedatangan Lily, aku gugup tak menentu. Ada rasa canggung harus bertemu secepat ini setelah malam yang kami lalui bersama. Benar-benar masih terasa, sebab aku bahkan belum tidur barang satu jam pun dari malam.

"Itu cupangan paling terang yang pernah kulihat," singgung Alfred. Lagi-lagi membahas mahakarya Lily di leher serta jakunku.

"Diam. Kau tak tahu rasanya bertemu setelah lama tak jumpa dan dilanda dendam rindu."

"Tentu saja aku tidak tahu. Aku belum pernah jatuh cinta sedalam dirimu."

Seperti kataku sebelumnya, Alfred hanya suka bercinta tanpa ada rasa mencintai yang dalam. Dia memiliki banyak mantan, dan mereka semua hanyalah koleksi-koleksi cantiknya untuk dia kagumi sesaat. Tidak lebih. Alfred belum pernah jatuh cinta dengan sungguh-sungguh, dia belum pernah menitikan air mata karena seorang wanita. Tapi entahlah, itu yang kuketahui. Karena semua fakta tentang dirinya, hanyalah dia seorang yang tahu.

"Mereka datang," gumamku pelan. Kompak aku dan Alfred melihat ke arah luar Café da Cidade, kepada mobil Seleste yang kini parkir dengan rapi mengikuti mobil lainnya.

Seleste turun duluan kemudian Lily menyusul. Mereka bertemu di depan mobil, berbincang singkat dan tersenyum cantik. Dua gadis muda yang sangat terang, memiliki getaran yang sama. Kuakui Lily hanya cocok berteman dengan Seleste, mereka setara dalam hal apa pun dan itulah yang membuat keduanya mampu bersahabat dengan baik. Takkan ada yang saling iri satu sama lain.

"Sialan. Anak itu benar-benar cantik." Alfred mengumpat, dia lalu terkekeh saat mengamati Seleste dari posisinya.

Seleste Ricci, harap teguhkan imanmu. Adikku Alfred memang tampan bahkan juga menawan, tetapi sebagai saudara yang benar-benar tahu akan sifat serta wataknya, kuharap kau tak mudah goyah kepada Alfred. Dia bangsat.

"Jangan kau permainkan anak orang, Alfred. Seleste bukan gadis yang cocok untuk kau ajak main-main," tegurku. Aku kurang setuju bila Alfred mendekati sahabat Lily-ku hanya untuk dia permainkan sesaat, mencicipi lalu sudah. Itu terlalu keparat.

Alfred menekan pipi dalamnya memakai lidah. "Lihat saja nanti," balasnya pelan karena Lily dan Selesta telah masuk dan mendekati kami berdua.

Mataku menatap mata Lily. Kami memandang di udara dan seolah melupakan sekitar, merasa bila seluruh meja di sini kosong dan hanya ada kami berdua. Aku jatuh cinta lagi padanya, pada senyumnya yang menawan hati, pun lirikan matanya yang mengingatkanku pada bayang-bayang ketika dia menggeliat serta menjerit di bawahku.

"Selamat siang." Lily menyapaku, matanya benar-benar hanya melihatku.

"Selamat siang, Miss Harlow." Aku berdiri, mengulurkan tanganku padanya. "Duduklah."

Lily menyambut tanganku lantas duduk di kursi yang sudah kutarik untuknya. Saat aku telah kembali duduk hingga posisi kami sebaris, kudapati semburat merah menghuni di pipi Lily.

Ketika Lily menoleh untuk melihatku, manik kami bertemu dan dia segera berpaling. Di bawah meja tanganku bergerak, meraih tangan Lily kemudian kugenggam di atas pahaku. Kusatukan jemari kami di bawah sini.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang