Chapter 7

64K 4.9K 236
                                    

Lily's POV

Aku gemetar. Benar-benar aku gemetar. Rasanya aku ingin berteriak, menjerit mengingat bagaimana tadi Valdos meresponku.

Tidak berbohong, demi apa pun tanganku begitu dingin bahkan gemetar kecil. Dia tertawa saat tadi kuberi sindir-sindiran, dia tersenyum, dan dia tak berhenti menatapku yang tampak biasa saja padahal di dalam sini, di hatiku, aku sudah ingin meledak melihat responnya.

"Kau gila, Lily. Kau gila. Bagaimana jika nanti dia membalasmu?" Cepat-cepat aku melangkah. Sesekali aku menengok ke belakang guna memastikan bahwa Valdos tak sedang mengamatiku.

Sesampai di rumah lalu membuka pintu, aku bergegas masuk dan berlari menaiki anak tangga menuju kamarku di atas. Kurebahkan kini tubuhku di kasur, telungkup sembari menyembunyikan wajah pada bantal.

Aku tidak kuat mengingat tawa dan senyumnya tadi. Seperti es krim aku ingin meleleh, lututku lemas terus ia pandangi ketika menunggangi kuda, namun sebisa mungkin aku menjaga kewarasanku di depannya.

God, maafkan aku. Bukan kurang ajar kepada orang yang lebih tua, tapi aku ingin melihat, benar dia tertarik padaku atau tidak. Dan— argh! Matanya menjelaskan bila ia tertarik padaku.

Sebab seorang pria hanya akan menatap perempuan yang ia sukai selama itu.

Tadi aku ingin sekali menggapai tangannya, namun sekuat hati kutolak agar tak terkesan gampang dan mudah menerima perhatian. Aku tahu dia hanya ingin bersikap jantan, tapi kita baru saling mengenal dan aku tak ingin dia mengira aku gampang diberi makan perhatian-perhatian kecil.

Hanya saja, terus terang. Aku shock mendengar perkataan nyonya Matilda. Benar aku sedang mencoba merebut hatinya, tapi tidak kusangka dia secara gamblanh memintaku untuk menikah bersama putranya itu.

Tidak, tidak bisa. Ini terlalu cepat. Akan kuatur jangka waktu pendekatan kita, yang kurasa adalah enam bulan waktu paling cukup. Selama enam bulan ke depan aku harus terus menilai Valdos, aku harus tahu sisi-sisi buruknya dan itu yang terpenting.

Jangan sampai dia pria kaya raya, tetapi terbiasa bersikap kasar dan bahkan ringan tangan untuk memukul wanita. Kuharap dia seperti ayahku yang dapat menghargai wanita, mendukung ibuku dalam segala hal.

Sama seperti ayahku yang merupakan cinta pertama bagiku, aku pun ingin anak perempuanku memiliki cinta pertamanya yang hebat dan luar biasa.

Dan lagi pula, kita pun harus sadar bahwa masa depan anak telah kita atur sedari awal memilih pasangan. Sebagai perempuan, kita harus sadar-sadari bila masa depan anak pun telah kita susun dari ketika kita memilih ayahnya—begitu juga sebaliknya.

****

Seperti hari-hari biasanya, aku ke kampus dengan penuh percaya diri juga rasa semangat yang tak tertandingi. Aku bangga menjadi siswi fashion design sebab semua orang mengatakan bahwasannya aku memang terlahir untuk itu.

Aku tak takut mengenakan outfit warna-warna monokrom yang saling dipadukan. Aku tak takut menjadi diriku sendiri selagi aku nyaman dengan semua itu. Bagiku, kampus bukan hanya tempat mencari ilmu, tetapi juga tempat kita membranding diri karena aku tahu, semua mata yang memandang pasti menilai.

Kita tak bisa meminta seseorang untuk jangan menilai kita, itu telah di luar kendali, kita tak dapat mengontrol otak manusia lain untuk jangan pernah menilai. Maka dari itu, kubebaskan semua orang untuk menilaiku. Biarlah mereka menilai dan aku akan semakin menunjukkan eksistensi yang kumiliki.

Saat dosen telah keluar kelas dan kami diberi waktu makan siang, telingaku sakit mendengar seorang teman perempuanku menangis di kursinya. Dia tersedu-sedu sembari menatap layar ponselnya dan mengetik cepat.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang