Chapter 13

33.2K 3.2K 308
                                    

Lily's POV

Setelah perbincangan bersama ayah semalam, ayah mengakhiri percakapan kami dengan menunjukkan layar ponselnya bahwa dia telah mentransfer uang belanja bulananku.

Dia menyuruhku untuk berbelanja, menambah koleksi pakaian serta heels, tas, dan bahkan beberapa perhiasan karena beberapa waktu ke depan, ayah akan mengajakku ke pesta-pesta penting yang bersangkutan dengan dunia bisnis.

Dan yang paling penting, melebihi semua itu, akan selalu ada Valdos juga Alfred. Mereka pun akan selalu hadir bersama para pebisnis-pebisnis besar lainnya sebagai multi millionaire terkemuka Brazil. Perkumpulan orang-orang kaya raya yang berperang dingin, bersaing ketat dalam dunia bisnis.

Tentu dengan senang hati aku akan selalu ikut di dalam pesta itu, hadir dan siap menjadi salah satu bintang terang di tengah-tengah kerumunan banyak orang.

Sebab begitulah impianku; tenar, terkenal, memiliki nama, kemudian tampil dengan penuh rasa percaya diri. Menunjukkan eksistensiku, memberitahu mereka, memberitahu dunia, bahwa ada aku di sini, Belmira Lily Harlow, putri tunggal Dozan Harlow yang mereka segani.

Dengan semua uang yang ayah berikan, sepulang kampus aku langsung mengunjungi Gucci Store terbesar nomor satu di São Paulo bersama seorang temanku, putri Perdana Menteri São Paulo; cantik, cerdas, terhormat, dan tentu memiliki getaran positif nan menawan. Satu-satunya gadis di kampus yang cocok denganku dalam segala hal, termasuk pola pikir.

"Kurasa heels ini akan sangat elegan bila kau kenakan dengan gaun berbahan kasmir milik brand Loro Piana."

"Sempurna, Seleste. Thank you," sahutku dengan nada mendayu nakal jenaka. Seleste Ricci, dia menyarankanku untuk mengambil sepasang heels cantik yang memang sedang kuperhatikan juga. Selera kami memang sama.

Kami mengobrol, melihat-lihat semua koleksi-koleksi dengan kualitas terbaik, dan di belakang dua orang bodyguard Seleste mengikuti kami. Membawakan tas kami karena kami hanya ingin berleha-leha.

"Tidakkah kau dengar?" Selesta bertanya sembari aku sibuk mengamati beberapa perhiasan berkilau. Kucari yang paling simpel namun tetap menawan.

"Tentang apa?" balasku. Dia juga tengah mengamati koleksi perhiasan.

"Rahel, dia hamil dan kekasihnya melarikan diri ketika orang tua Rahel memintanya bertanggung jawab dengan ... yeah, sedikit uang dalam artian kita," tutur Seleste di sana.

Aku terkekeh. "Sebenarnya aku tidak peduli. Hanya saja aku cukup heran, mengapa Rahel mau dengan kekasihnya yang berandalan dan miskin itu. Perempuan malang, padahal dia cukup cantik dan cerdas untuk mendapatkan yang lebih baik," kataku. Kami tak peduli para bodyguard mendengar.

"Seperti yang kau tahu. Para gadis lebih mudah jatuh hati kepada pria berengsek yang pandai bermain lidah, menggoda dengan rayuan maut, candaan, dan mereka langsung jatuh cinta tanpa berpikir panjang." Seleste berhenti sejenak.

"Mereka mudah jatuh cinta seakan-akan cinta adalah sebuah permainan. Setelah itu, mereka merelakan tubuh mereka. Gratis, berkali-kali, kemudian ditinggalkan. Menyedihkan," sambung Seleste berakhir terkekeh.

"Banggalah karena kita tidak menjadi bagian dari gadis-gadis bodoh dan menyedihkan itu," sahutku di sini. Berhasil mendapatkan perhiasan yang kuinginkan.

"Karena kita tahu kualitas kita, kita sadar akan itu, dan kita tak ingin berakhir hanya seperti camilan manis yang cepat mendatangkan rasa bosan di lidah lelaki. Kita tahu apa tujuan serta keinginan kita, dan bukan hanya sekadar bahagia dengan didekati lelaki."

Dengar apa yang dia ucapkan? Itulah mengapa, hanyalah dia satu-satunya temanku. Kami setara dalam segala hal.

"Tapi aku ingin berterus terang padamu. Aku mengincar dua orang pebisnis, old money dan multi millionaire kepunyaan Brazil," lontarku. Aku duduk di kursi, sopan, anggun, merapatkan kaki dan menunggu Seleste selesai.

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang