Chapter 19

30.9K 3.3K 515
                                    

Sorry for typo.
Happy reading.

****

Valdos's POV

"Aku bisa menjelaskannya padamu." Kuikuti langkah Lily dari belakang, saat kuraih tangannya untuk menahan, dia sigap menarik kembali lalu menyatukan kedua talapaknya.

Spontan aku membeku. "Maafkan aku," timpalku. Membalasnya dengan menyatukan juga kedua telapak tanganku.

Batasan. Dia membangun kembali batasannya untukku. Tanpa sepatah kata pun dan hanya menyatukan telapak tangan, dia berhasil membuatku terdiam, mengerti bahwasannya dia tak ingin kusentuh.

Meski terlihat tenang, dadaku dari tadi berdebar kencang, rasa gelisah menghujaniku, dan semacam perasaan akan takut kehilangan. Kehilangan dirinya yang bukanlah kekasihku, pun tak ada hubungan spesial di antara kami. Takut dia membencinya, selamanya membenciku, dan mengabaikan kehadiranku.

Kutatap sorot tegas mata Lily. Tak ada raut sedih ataupun marah, dia bahkan mengulas senyum tipis ramah dan itu seperti sebuah tikaman yang merobek dadaku. Nyeri, ngilu di dalam hatiku.

"Aku sudah mengambil keputusan ini, Mr. Yordanov. Maafkan aku."

"Kau marah, Lily. Tolong dengarkan dulu ceritaku." Kuambil satu langkah maju. "Malam itu Carla menghubungiku, kami berbincang di restaurant, sedikit minum, dan kami— kami menjadi dekat. Dia mantan kekasihku yang hampir kunikahi tiga tahun lalu. Sesungguhnya aku tak memiliki perasaan apa pun lagi padanya, tetapi hadirnya tak dapat kuhindari dan aku menyesali itu. Lima hari tak mengabarimu, sampai kulupakan pesanmu, semua karena hadirnya dan aku salah, aku minta maaf. Kami dua orang dewasa yang pernah menjalin hubungan asmara, dan kami—"

"Kalian berdua mengulang kembali sejarah cinta kalian." Dia memotong ucapanku dengan senyum tipisnya yang tak pudar.

Berat, namun samar-samar aku mengangguk. Di sini aku mencoba jujur, kejujuran adalah yang utama ketika ingin mengawali atau mengakhiri sesuatu hal. Meskipun dia marah dan membenciku, setidaknya kelak kesalahanku dapat dia maafkan dengan aku berkata jujur.

"Kalian berakhir di ranjang hotel."

Sekujur tubuhku kaku. Kami saling memandang, membiarkan angin kencang menabrak kami, memainkan surai dan gaun indah Lily, menggerusku dengan rasa berdebar pun ngilu yang kian menusuk.

"Semua kesalahanku. Sebagai pria, aku salah karena aku tak dapat menolak hasrat itu," balasku setelah jeda.

Dia terkekeh. "Kurasa aku sudah sangat lancang. Itu urusan pribadimu dan aku tak memiliki hak apa pun untuk menanyakan atau mengetahuinya. Maaf, aku pamit. Permisi."

Kutarik napasku dalam, tertahan hingga dadaku meninggi seraya mengamati kepergiannya. Terasa jauh, rasanya tak bisa lagi kugapai dirinya kini.

"Miss Harlow, aku sayang padamu. Maafkan aku," lontarku di sini. Dia mendengarnya, pasti dia mendengarnya karena dia belum begitu jauh.

"Maaf jika ini melukai perasaanmu. Kuharap kita masih bisa berbincang meski hanya sekadar basa-basi," tambahku. Kulepas napasku yang tertahan dan bahuku menjadi lemah.

Kosong. Mendadak aku seolah berada di tengah-tengah ruang hampa. Kehilangan sesuatu yang belum sempat kuraih penuh, kehilangan secerca harapan untuk memilikinya, mendekapnya yang merupakan impian setiap pria. Aku kehilangannya, jalanku putus, tertutup, buntu kini untuk memeluknya dalam dekap eratku.

Tidak perlu kutanya dari siapa dirinya tahu tentangku dan Carla, tentu pasti ibu yang memberitahunya, menceritakannya kepada Lily.

****

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang