Chapter 31

36.7K 3.2K 741
                                    

Valdos's POV

Aku tidak bisa tidur. Sampai pagi aku tidak tidur lagi. Bayang-bayang Lily memenuhi kepalaku, bayang-bayang ketika dia kubuat terkapar di ranjang hingga menjadi onggokan yang bergetar terus melintas di mataku.

Seperti orang gila, aku berusaha menahan senyumku sendiri dengan cara mengulum bibir. Aku seolah anak belasan tahun yang baru mengenal cinta, yang baru saja melakukan sesuatu bersama kekasihnya hingga tak bisa untuk tidak tersenyum.

Mandi, berpakaian, bahkan di meja sarapan aku saat ini, aku terus mengingat kejadian semalam. Aku terus mengingat Lily, mengingat Lily-ku yang kubuat gemetar, terentak indah, menggelinjang, kemudian menjerit saat mendapati pelepasan pertamanya.

Mengingat semua itu, aku malu sampai tanpa kusadari desisan keluar dari mulutku. Aku mendesis serta merta memejam singkat, mengulum bibirku lagi dan jemariku menjadi lemas saat memegang garpu juga sendok.

"Kenapa? Kau sakit?"

Suara ibu mengejutkanku. Mataku berkedip, menatap ibu sebentar kemudian aku menggeleng pelan.

"Tidak. Aku sehat," jawabku. Lamban aku mengunyah, berusaha menepis semua bayang-bayang itu, bayang-bayang saat Lily menangis dengan seluruh wajah pucat pasi. Dia shock saat mengetahui ternyata aku setidak wajar itu, juga sekarang baru aku merasa malu saat mengingatnya. Benar-benar malu.

Aku tak berniat menunjukkan itu, aku tak berniat menunjukkan sisi liarku. Tapi aku tak bisa menahannya, aku terlalu rindu, aku sangat merindukan Lily. Satu bulan kami benar-benar berpisah tanpa saling mengabari. Walau sangat ingin, aku selalu berusaha menahan diri agar tak mengganggu Lily. Dan selalu berakhir menatap sendu layar ponsel. Setiap malamnya aku selalu ingin menelepon Lily, sangat ingin, tapi hal itu tak pernah sampai terjadi.

Semua rasa rinduku, rasa yang menyiksaku selama satu bulan belakangan, seluruhnya kutumpahkan kepada Lily di malam tadi. Kuakui aku sudah sinting, aku kehilangan kontrol atas diriku sendiri, gairah dan hasrat mengendalikanku, pun aku tak dapat menghindari itu. Ranjang yang kami gunakan menjadi bukti bagaimana kacaunya kami berdua.

Bukan hanya aku, hasrat Lily pun bisa kuresapi. Dia sangat menggebu-gebu sepertiku, berdebar sepertiku, dan menikmati sepertiku. Kami seolah pasangan pengantin yang sedang menikmati malam pertama, brutal dan ganas, panas dan bahkan membara.

Aku tak ubahnya dari kertas yang terbakar habis lalu menjadi debu, berakhir terkulai lemas di atasnya, memeluk kepala Lily di dadaku, meredam jerit nyaringnya sementara aku mendesah dengan putus asa.

Aku merinding mengingat segalanya.

Kepalaku diam namun bola mataku bergerak. Kulirik sendok ibu yang berhenti, tanda ibu pun telah selesai dari sarapannya.

"Semalam kau ke mana? Kau pergi sekitar pukul sepuluh, dan pulang pukul enam."

Kunyahanku memelan. Pelayan yang duduk di dekat ibu dan mengupas buah pun hanya diam, menunduk tanpa bersuara.

"Bertemu teman," jawabku lantas meneguk sedikit air putih di gelas.

"Pria atau wanita?"

"Pria."

"Oh? Jadi cupangan di lehermu itu teman priamu yang membuatnya?"

OLD MAN : HIS PROPERTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang