Chapter 63

3.6K 381 132
                                    

~Selamat Membacaaa~

   "Selamat pagi Abba dan Umma kuuu sayang kuuu cinta ketiga kuuuu"

   Aca setengah berlari menghampiri Gibran dan Ayla dengan senyuman secerah mentari. Mimik lugu dan ceria itu kini kembali menghiasi wajah Aca disertai dengan senyuman manis yang dia perlihatkan pada orang tuanya.

   "Selamat pagi anak manisnya Umma" Sapa Ayla balik mencium kening putrinya dengan sayang.

   "Abba gak sapa Aca nih?" Wajah polos itu memberenggut kesal ketika melihat respon Abbanya hanya diam memandang kearah dirinya dengan tatapan haru.

   "Selamat pagi tuan putri" Gibran mengelus pucuk kepala Aca sambil menghapus sudut matanya yang berair.

   "Jangan nangis Abba. Semuanya sudah selesai" Ucap Aca tersenyum meyakinkan.

   "Gimana perasaan Aca hari ini?" Tanya Gibran penasaran.

    Baru kemarin dirinya melihat Aca mengamuk penuh amarah dan benci pada Zayn. Menuntut keadilan pada semesta. Menangis hebat meratapi kehidupanya yang hancur. Tapi lihatlah, belum ada 24 jam wajah datar dan dingin itu sudah kembali ceria seperti sedia kala. Terlihat seperti tidak terjadi hal apapun dalam kehidupanya.

   "Sebelum semalam tidur, Aca janji akan mengawali hari ini dengan penuh keikhlasan. Rasanya lebih lega dan menenangkan. Aca merasa bisa menerima semuanya dengan damai. Abba benar, dunia akan baik-baik saja kalo kita sudah bisa memaafkan dan mengikhlaskan" Balas gadis remaja itu sambil terus memperlihatkan senyuman teduhnya.

   "Maa Syaa Allah anak Umma sudah besar" Tersenyum haru Ayla memeluk putrinya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

   "Emang udah besar Umma ih!" Kesal Aca menekuk wajahnya.

   Ayla dan Gibran tertawa bersamaan. Merasa gemas melihat wajah polos itu menatap kearah mereka dengan garang. Tidak terlihat menyeramkan, malah terlihat menggemaskan. Sangat berbeda dengan Anatasya tempo hari.

   Aca ikut terkekeh melihat Umma dan Abbanya yang masih tertawa bersamaan. Mungkin jika dirinya kemarin masih tetap ingin membalaskan dendam pada Zayn, senyuman itu tidak akan pernah dia lihat lagi.

   Hari ini yang begitu cerah dan indah tidak akan pernah dia dapatkan. Hanya akan ada rasa penyesalan dan kemarahan yang tidak ada habisnya. Mata bulat itu semakin fokus memandang kearah Umma dan Abbanya yang masih tersenyum cerah. Seketika matanya berkaca-kaca ketika lagi dan lagi dia seperti melihat bayangan orang tuanya yang ikut tersenyum dibelakang Ayla dan Gibran.

   "Umma" Panggil Aca membuat Ayla mengalihkan tatapanya pada gadis itu.

   "Iya sayang ada apa?"

   Aca tidak berkata apapun. Dia langsung memeluk tubuh Ayla dengan perasaan hangat. Merasa kini yang sedang dia peluk adalah Bundanya. Merasakan kehangatan pelukan sang Ibu dipagi hari. Rindunya seakan melebur bersamaan dengan rasa ikhlas yang paling dalam.

   "Terima kasih sudah mau menjadi Ummanya Aca juga" Lirih Aca dalam pelukan Ayla.

   "Dengar ini. Sampai kapanpun dan dimanapun itu, Aca akan selalu menjadi putri kesayangan Umma, paham?" Ucap Ayla tulus mencium kening putrinya.

   Aca melepaskan pelukanya. Dengan gemas, Ayla menggesekan hidung mancung nya dengan Aca membuat gadis remaja itu tertawa.

   Aca melihat kebelakang tubuh Ayla, dimana bayangan Bundanya sudah menghilang. Kini matanya menatap wajah Gibran yang sedang tersenyum teduh kearahnya. Dibelakang tubuh Abbanya itu, dia masih bisa melihat bayangan Ayahnya.

Klandestin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang