Ibu (09:30): Apa kabar? Gimana kerjaanmu?
Pesan singkat itu mendarat pada gawai Fara semenjak beberapa jam yang lalu. Hanya saja ia baru sempat membukanya ketika tengah hari datang. Pesan itu masih saja punya aura yang sama dengan dengan pesan-pesan lain yang berbulan-bulan lalu pernah Fara terima. Canggung dan kaku.
Fara (12:30): Baik. Biasa saja. Ibu?
Jemari Fara bergerak singkat di atas papan ketik. Ia sendiri roman-romannya juga tidak beda jauh dengan sang Ibu—sama-sama menjawab dengan dingin dan seadanya sekali.
Kenapa tidak langsung telepon saja?
Seketika Fara menggerutu sendiri. Entah itu ditujukkan untuk dirinya atau untuk Ibunya, ia juga tidak begitu paham.
Ibu (12:32): Ibu baik. Ibu kangen kamu. Kapan kamu ada waktu pulang ke sini?
Tak perlu menunggu lama, pesan balasan sudah diterimanya. Membaca kalimat itu membuat Fara hanya mampu terdiam. Sejurus kemudian, ia cepat-cepat mengunci layar, lalu memasukkan begitu saja gawainya ke dalam saku. Ia tak ingin membalas.
Cinta kan membawamu ....
Kembali di sini
Menuai rindu
Membasuh perih.
Reff dari trek nomor 11 di mixtape terputar ketika Fara memasang earphone dan menekan tombol putar walkman kuning kesayangannya. Fara baru ingat kalau kemarin ia belum selesai mendengarkan lagu gubahan Dewa 19 itu karena sudah kepalang sendu. Sekarang ia nikmati lagi lagu itu bersama semua kenangan yang memenuhinya.
"Otsukaresama deshita." (Terima kasih atas kerja keras anda).
Kobayashi menyapa, mendadak datang dengan dua botol minuman isotonik di tangan. Disodorkan satu untuk Fara. Areal balkon sebuah studio mode itu kemudian menjadi tempat berbincang mereka. Kebetulan pemotretan memang baru saja rampung. Fara pun mencopot earphone dan mematuk tombol berhenti tepat saat satu lagu selesai.
"Arigatou." (Terima kasih).
Fara membalas seraya menerima botol minuman itu. Dahaga pun seketika terbasuh tatkala ia meneguk isinya.
"Rokok?"
Kobayashi tampak menyodorkan sekotak sigaret berlabel hijau. Fara spontan menggeleng.
"Sejak kapan kau berhenti?" tanya Kobayashi gamblang, cukup heran.
Seingatnya, model asal Asia Tenggara itu masih suka merayakan hari bersalju, musim bunga, ataupun hari-hari suntuknya dengan beberapa batang rokok. Namun, ternyata sudah tidak lagi.
"Sudah lama," pungkas Fara singkat. Kobayashi kemudian hanya terlihat ber-oh ria, lalu memantik rokoknya. Tidak ambil pusing.
Sepasang mata Fara kembali melihat dahan-dahan sakura yang bergoyang pelan didera angin musim semi dari balkon studio. Akhir bulan ketiga. Sakura di tahun itu roman-romannya akan datang lebih awal. Pucuk-pucuk muda mulai tampak dan dalam hitungan hari dan akan segera merekah.
"Jadi besok ada tiga peragaan sekaligus?" tanya Fara, melepas sunyi.
Sesekali, ia menengok sebentar ke dalam studio, melihat Chloe, Sumire, dan beberapa kawan-kawan satu agensinya yang masih sibuk berpose di depan para juru kamera.
"Iya, dan kita sudah harus tiba dari pukul enam pagi," tanggap Kobayashi.
Pekan pagelaran busana Tokyo untuk koleksi musim semi akan kembali digelar. Jadwal yang mendadak meroket harus ditekuri Fara dalam sepuluh hari berturut-turut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romance"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...