Ramai menggeliat. Wangi aneka macam makanan terendus semerbak tatkala dua pasang kaki menjelajahi jalan yang kanan-kirinya dipenuhi jajaran kios dan kedai. Seruan para penjaja di beberapa sudut kerap terdengar, dagangan mereka dipromosikan dengan gencar. Pasar Ikan Tsukiji—dari begitu dini—memang telah dipenuhi ribuan orang, terutama stock buyer yang masih jadi prioritas di waktu-waktu tersebut. Namun, mulai pukul sembilan ke atas "omotenashi"[1] baru saja akan dimulai—waktunya para pengunjung biasa dan pelancong meramaikan tempat itu.
Sudah hari Sabtu yang lain, Adriana dan rekan barunya—Riani—memutuskan untuk mengunjungi surga makanan laut terbesar di Tokyo itu. Butuh waktu sekitar 35 menit perjalanan dari Stasiun Meguro hingga sampai Stasiun Tsukiji yang ada di jalur Hibiya.
"Rame banget, ya, Dri," decak Riani ketika mereka tengah memasuki kawasan yang paling padat pelancong.
"Mbak Riani memang baru pertama kali ke sini, kah?" tanya Adriana spontan. Alisnya tampak bertaut di pangkal.
Entah kenapa Adriana justru mendapati Riani—yang sudah dua tahun lebih tinggal di Tokyo—terlihat jauh lebih heboh ketimbang dirinya yang baru tinggal hampir tiga minggu itu.
"Dri, jangan ketawa, ya. Sebenarnya, ini pertama kalinya aku ke Tsukiji."
"What?" Fakta itu nyatanya sempat mengagetkan Adriana. Sontak sepasang netra gadis itu membola. "Mbak serius?" Adriana kembali memastikan. Riani kemudian hanya tampak menggangguk dengan cengiran lucu.
"Aku tuh selama dua tahun ini sebetulnya hampir nggak pernah yang namanya eksplorasi tempat-tempat di Tokyo."
Sontak pengakuan Riani yang satu itu membuat jiwa petualang yang begitu kuat dalam diri Adriana seolah meraung-raung. Dia sudah cukup dibuat melongo di pagi itu. Bagaimana bisa? Dua tahun hidup di negeri orang, di kota metropolitan yang begitu gemerlap dan indah, tetapi hampir tidak pernah sekali pun menelusurinya? Sungguh, Adriana sekarang gemas betul dengan rekan barunya itu.
"Aku tuh susah sekali atur waktu, Dri," lanjut Riani ketika mereka berhenti di satu kedai makanan ringan sembari melahap satu tusuk warabi mochi[2]. "Dan entah kenapa aku kadang takut aja kalau pergi sendirian." Raut itu kemudian terlihat lesu.
Ketika alasan itu dikemukakan, Adriana sejenak mengingat salah satu ucapan seniornya di Long Island dulu—Mas Ahmad. Beliau sempat menyinggung kalau semakin bertambahnya umur entah mengapa, orang akan cenderung jadi lebih pengecut. Mengetahui usia Riani yang sudah sampai kepala empat itu pun, sontak membuat Adriana berpikir bahwa alasan tersebut mungkin adalah faktor utamanya.
Keriuhan di Tsukiji terus membius. Riani selalu tampak bersemangat untuk menjajal berbagai santapan yang dijajakan di sepanjang outer market. Langkahnya yang terlihat begitu ringan menyeret Adriana ke sana-ke mari. Adriana pun tak kalah menikmati pengalaman perdananya. Ia juga tak lupa mengabadikan setiap hal unik yang dijumpai dengan kamera yang sedari tadi menggelantung di leher.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romance"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...