30. Lensa

161 20 0
                                    

Saka menatap kosong pemandangan pagi yang berlalu dalam sekejap dari balik kaca-kaca jendela Shinkansen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saka menatap kosong pemandangan pagi yang berlalu dalam sekejap dari balik kaca-kaca jendela Shinkansen. Kecepatan peluru membawanya dari regional Kanto menuju ke barat, tepatnya ke regional Chubu.

"Ka, bisa kita bicara?"

"Sori, Far. Saya masih kerja."

"Besok bisa ketemu?"

"Maaf, besok pagi-pagi Saya sudah harus berangkat ke Gifu."

"Nanti, kamu masih ada waktu untuk kembali ke Tokyo?"

"Mungkin, dua hari terakhir sebelum pulang."

Lamunan akan percakapannya yang dengan Fara pada kemarin hari terus melarutkan pikiran. Kala itu, Saka bahkan memilih untuk menggunakan kata 'saya' yang terasa berjarak dan dingin, ketimbang 'aku' yang selama ini terasa intim untuk mereka berdua. 

Semalam, seluruh panggilan daring yang masuk ke gawainya sempat beberapa kali Saka abaikan. Pria itu membiarkan Fara terombang-ambing dalam tanya dan rasa bersalah. Menjelang tengah malam, barulah ia akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan telepon, itu pun singkat sekali. Sepanjang durasi percakapan, Saka hampir tak mampu menangkap emosi apa yang terbersit dari nada suara gadis itu. Semua datar dan hambar, dengan sedikit bumbu canggung di akhir.

Pelik segala cerita hati di masa lalu tak henti membayang di sanubari. Ingatan Saka pun melayang pada momen di mana dirinya pertama kali mengenal sosok jelita itu. Tahun ketiga di SMA, Saka dan kawan-kawan sekelasnya mendapat kejutan kedatangan murid pindahan baru dari ibu kota.

Fara.

Begitulah ia selalu menyebut dirinya setiap kali berkenalan dengan kawan-kawan baru. Semua siswa di kelas menyambut gadis berparas blasteran itu dengan baik. Duduk tepat di depan meja yang Saka tempati, Fara memang cenderung terlihat agak pendiam. Sekilas tidak ada yang istimewa darinya selain paras Jawa-Batak-Prancis-nya yang manis. Kalau dari segi pergaulan, ia selalu tampak tidak begitu menonjol di antara kawan-kawannya. Jelas-jelas tampak sebagai seseorang yang tertutup, dengan dunianya yang agak sulit disentuh.

Ada yang terasa mengusik dada ketika wajah itu pernah tak sengaja tertangkap lensa kamera Saka. Sebuah cetak dua dimensi memuat wajah-wajah siswa yang tengah menonton pertandingan futsal dalam sebuah acara pekan olah raga sekolah. Foto itu diambil oleh Saka ketika ia bertugas sebagai seksi dokumentasi dalam kepanitiaan. Dan wajah tersenyum Fara juga ada di sana, berada di antara mereka. Selain hanya pada selembar cetak dua dimensi itu, Fara tak pernah terlihat sehangat itu di hari-harinya.

Sedari dulu, insting Saka—yang lebih peka untuk menangkap sudut pandang serta keindahan yang berbeda untuk dipotret—memang telah mengalir secara alami dalam darahnya. Sebuah rencana kegiatan pameran fotografi yang digagas oleh club di sekolah mereka, kemudian membawa pertemuan keduanya.

"Saya boleh motret kamu?"

Menurut pandangan orang lain, mungkin lama-kelamaan Fara dengan paras blasterannya akan terlihat biasa saja. Namun, Saka yakin jika ia telah menangkap pesona yang lain. Tak ada rasa, tak ada maksud apa pun, selain hanya ingin menjadikannya sebagai objek dalam lukisan cahaya. Polos. Di depan gerbang sekolah, Saka mengatakannya tanpa basa-basi dan tanpa perantara. Penolakan sudah jelas dapat ditebak, tetapi Saka tak lantas dibuat jera.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang