40. Konser

249 24 4
                                    

Bukan tentang pagi yang dinaungi rasa bahagia, hanya sebuah pagi yang kembali membuat Christoff terpasung lara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan tentang pagi yang dinaungi rasa bahagia, hanya sebuah pagi yang kembali membuat Christoff terpasung lara. Dia ingat hari itu adalah hari yang penting untuk keluarga kecilnya, terutama untuk ayahnya. Konser musik yang akan dipimpin Ayah akan digelar menjelang sore nanti. Namun kini, tubuh Christoff serasa kembali meminta untuk bermanja saja di pembaringan, hendak mengacaukan segalanya.

"Christoff, besok sore ketemu di concert hall ya, Nak. Maaf, Ayah dari pagi nggak akan bisa temani kamu. Nanti Adriana dan Ghaza yang akan bantu kamu untuk siap-siap."

Itulah pesan yang dikatakan Haris semalam, sebelum Christoff terlelap dalam tidur. Semenjak pagi, Haris memang akan sibuk dengan beberapa persiapan di concert hall.

Christoff paham jika ini bukan saatnya untuk tidak kooperatif dengan keadaan dan situasi. Berulang kali ia mambatin pada tubuhnya sendiri kalau ia baik-baik saja dan sanggup untuk memulai harinya sendiri. Namun, rasa sakit dan kelelahan yang menjamah sekujur badan nyatanya tak mampu ia nafikan. Entah mengapa, kian hari ia kian merasa tubuhnya semakin sulit untuk dikendalikan, tidak jarang akan terasa berat, tidak jarang pula kontrol motoriknya pun buruk.

Pria muda itu melepas sejenak nasal cannula yang sedari semalan suntuk bertengger di wajah, mengalirkan oksigen dari konsentrator oksigen yang ditaruh di sebelah tilam. Dalam diam ia menatap benda itu untuk beberapa jenak. Lelah rasanya harus bergantung terus dengan alat-alat bantu seperti ini. Namun memang, ia tidak punya banyak pilihan. Saturasinya akhir-akhir ini juga semakin memburuk, hampir tidak pernah menyentuh angka 96%.

Perlahan, Christoff beringsut ke tepi kasur, bangkit dari head board pembaringannya. Batuk hebat kemudian membuatnya tertunduk lagi sampai harus berpegangan pada side guard ranjang. Rasa seperti tertoreh menggores rongga dadanya.

Susah payah, kaki yang sudah banyak kehilangan kekuatan itu, tetap memaksa untuk menapak lantai meski gemetaran. Kursi roda milik Christoff sebetulnya berada tidak jauh dari nakas. Namun, ia memilih mengabaikannya. Sungguh, Christoff hanya tengah bersikeras memaksa diri. Apalagi, sore nanti adalah konser ayahnya. Ingin sekali ia datang ke sana tanpa kursi roda dan berjalan dengan kaki sendiri.

Namun sayang, belum sampai lima langkah Christoff menjauh dari sisi ranjang, tubuhnya sudah harus limbung dan terjatuh. Susah payah ia mencoba bangkit, tetapi kemudian malah terjatuh lagi. Christoff merasakan denyut di kepalanya berubah begitu perih. Lelaki itu spontan memegangi sebelah tempurungnya. Sakit luar biasa.

"Kak Chris."

Suara Adriana terdengar dari luar, diikuti ketukan daun pintu. Dalam ketidakberdayaan yang kian menyiksa, Christoff masih berusaha bangkit. Ia mencoba menyeret tubuhnya ke arah nakas, hendak mencari segala obat atau apa pun yang bisa membuat rasa sakitnya berkurang sementara. Ia sungguh tak ingin Adriana mendapatinya dalam keadaan begini.

"Kak Chris? Kakak sudah bangun? Kak, nggak apa-apa?"

Seruan Adriana semakin jelas terdengar dari luar. Chris sudah berada tepat di depan nakas, mencoba bangkit dengan berpegangan pada benda itu. Namun, lengannya ternyata hanya kuat meraba-raba tepiannya saja, sudah hampir tidak punya tenaga untuk menopang tubuh. Mau bicara satu kata pun sulitnya luar biasa. Nyeri kepala yang tengah ia tahan serasa telah merenggut kemampuan bicara. Akhirnya, hanya ada lenguhan dan desis penuh rasa sakit yang mampu terlontar dari bibir.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang