23. Hilang

291 31 3
                                    

Seperti meneguk satu cawan matcha pada upacara minum teh, mungkin ini yang bisa menggambarkan Kyoto bagi Fara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti meneguk satu cawan matcha pada upacara minum teh, mungkin ini yang bisa menggambarkan Kyoto bagi Fara. Begitu intens, begitu pekat, bisa dibilang menenangkan.

Menenangkan? Ah, tapi mungkin tidak juga. Buktinya dua hari bekerja di sana, tak pelak membuat Fara terhanyut dalam kentalnya suasana. Setenang-tenangnya Kyoto, masih saja tak bisa mengalahkan hiruk-pikuknya Tokyo di kepala. Bukan hiruk-pikuk suasana kotanya, tetapi hiruk-pikuk segala tentang Christoff, yang selalu membuat ia ingin cepat-cepat menjejak kembali metropolitan. Segala tentang pria—yang hanya mampu digapainya lewat tatapan itu—bertahta dalam benak.

Dua hari di Yoshino bersama Christoff membuat Fara seperti batu baterai yang baru diisi, penuh dengan daya. Namun kemudian, dua hari di Kyoto mendadak membuatnya seperti kaleng kosong yang diisi sebuah kerikil kecil. Jika diguncang akan menghasilkan bunyi 'klotak klotak' yang nyaring. Fara tak paham dengan apa yang beresonansi dalam batinnya. Entah sumbang, entah merdu. Konstelasi perasaannya terasa abstrak.

Pria itu memang menghilang. Menghilang atau menghindar? Ah, sama saja. Sama-sama tidak diketahui kabarnya dan sama-sama berhasil membuat Fara ... mulai gila. Kerap kali, ia jadi berpikir yang tidak-tidak akan sendu yang sempat dirasa kala akhir perjumpaan mereka di stasiun Osaka Abenobashi Apa semua ini jawaban akan rasa itu? Kalau memang iya, betapa teganya rindu yang semakin tidak wajar itu. Menyiksa.

Hidup ini hanya kepingan

yang terasing di lautan

memaksa kita

memendam kepedihan.

Trek nomor lima, "Kesepian Kita" gubahan PAS Band mengalun. Dua hari berlalu dan Fara bahkan lupa kalau perangkat audio kesayangannya itu ada di tas. Mix tape dan walkman tua pemberian Christoff kembali menemani, membawa kenangan yang tidak berkesudahan. Sesekali, Fara menilik lagi sebuah momen yang terabadikan pada layar gawai. Tanpa sadar senyum tipis mengembang di wajah sang jelita.

Lelaki itu masih sama seperti sebelas tahun lalu, paling anti kalau disuruh berfoto di depan kamera. Hanya itu satu-satunya foto yang berhasil Fara ambil bersama Christoff di Yoshino, dengan latar pohon-pohon sakura. Fara terlihat merangkul pundak Christoff. Keduanya tersenyum begitu hangat.

Satu hari pria itu tak membalas semua pesannya, Fara masih bisa berpikir positif. Hari kedua kembali tanpa pesan, Fara mulai gelisah. Dan ketika Shinkasen membawa Fara melintas secepat peluru—kembali ke ibu kota—ia tak paham lagi dengan dirinya. Bersua hanyalah satu-satunya hasrat yang tumbuh di otak Fara untuk melarutkan gundah.

-:-:-

Penat. Satu kata yang mampu menggambarkan perasaan Christoff pada hari itu. Ketika pagi, Christoff hanya sanggup berkutat kurang dari satu jam untuk melakukan beberapa sentuhan akhir pada ilustrasi pesanan klien yang sudah diproses secara digital. Setelahnya, dia hanya berkegiatan membereskan apartemen. Menjelang siang, ia habiskan untuk membaca dan menonton anime, lalu cari angin di dekat pintu balkon sembari melihat langit ditemani dua anak bulunya—Goma dan Shima—yang duduk merapat di dekat kaki.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang