Ada yang hilang, memudar layaknya merah muda kuntum-kuntum sakura yang telah seutuhnya berguguran di penghujung musim bunga. Melarut, semua kenangan yang tertinggal perlahan melebur dalam separuh keikhlasan. Sayonara, tidak hanya ditujukkan untuk sang Negeri Matahari Terbit, tetapi juga untuk si "dia" yang pernah mengisi hati Saka.
"Aku yakin setelah ini kita pasti akan jadi lebih bahagia daripada yang dulu."
Saka tak paham mengapa dirinya mengatakan hal itu di penghujung jumpa dengan Fara. Entah kalimat itu benar-benar ditujukkan untuk mereka berdua, atau hanya untuk sekadar menghibur diri sendiri. Jepang berlalu, ditinggalkannya bersama semua lembar-lembar memoar yang selalu menanti untuk dibaca kembali. Bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dikaji ulang.
Lagi, hidupnya harus terus bergulir. Saka kembali pada rutinitas yang seperti biasa. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan kantor, memotret, atau berkumpul bersama rekan kerja. Namun kini, jelas ada yang berbeda.
Pagi harinya tidak akan diisi lagi dengan notifikasi pesan ataupun telepon dari sang jelita. Tidak akan ada lagi akhir pekan yang diganggu oleh panggilan manja yang minta ditemani, ataupun sebaliknya. Layar gawai dan atau layar-layar lain dari perangkat komunikasinya, tak akan lagi jadi perantara bagi bentuk-bentuk afeksi jarak jauh dan segala rindunya. Sepotong hati itu sudah bukan lagi ruang untuk menaruh rasa ataupun sarana bercinta.
Saka, banguuun!
Pagi, Saka.
Saka, jaga kesehatan. Kamu jangan sampai kecapekan. Istirahat sama olahraga yang cukup.
Lagi apa, Ka?
Saka, virtual dinner kita kali ini enaknya di mana?
Good night, Ka. Besok semangat kerjanya.
Tak ada lagi sapaan penuh perhatian ataupun tempat bercerita yang nyaman seperti di hari lampau. Saka hanya harus terbiasa dengan potongan fragmen yang kini tidak lagi lengkap pada hari-harinya. Ia selalu mengingatkan diri sendiri jika sang waktu suatu saat nanti akan membawa fragmen baru untuk melengkapi dunianya—entah dengan kehadiran sosok baru ataupun peristiwa-peristiwa tertentu. Waktu adalah obat terbaik. Itulah yang Saka tahu.
Purnama yang baru silih berganti. Perlahan tapi pasti, Saka pun kembali menemukan kenyamanan hati. Kekosongan itu kini agaknya mulai terisi dengan kebiasaan baru.
"Woy, mau ke mana lagi lo, Ka?" celetuk Dimas ketika kedua matanya tak sengaja mendapati layar gawai Saka yang menampilkan jendela aplikasi reservasi tiket pesawat daring. Mereka berdua tengah asik nongkrong di kedai bakso langganan saat jam istirahat makan siang.
"Kepo aja," komentar Saka sembari menjauhkan layar gawai dari tatapan Dimas.
"Gitu lo, ya, Ka. Sekarang jalan-jalan nggak pernah ngajak gua, nih. Nggak cukup ya, tiap minggu dan tiap bulan pergi-pergi mulu buat filming dan ngonten?" Dimas menyikut sahabat karibnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romansa"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...