"Selamat tinggal, Chris."
"Selamat tinggal."
Dingin. Pemanas dalam ruangan serasa rusak. Ah, bukan. Itu hanya sekadar bunga tidur yang kerap kali menebar dingin dalam alam bawah sadar. Tatkala benda berbentuk kubus di atas nakas terdengar menjerit, pemuda itu akhirnya tahu kalau dirinya masih utuh. Kesiap kecil terlontar dari bibir seraya mata membuka. Lelapnya penyap.
Christoff sontak menegakkan tubuh. Sekujur punggungnya terasa basah, dibanjiri peluh yang dingin. Suara seorang perempuan yang tadi mengucap selamat tinggal, adalah satu-satunya yang tersisa dari jejak bunga tidur—meninggalkan pilu. Tatapan manik mata sehitam jelaga itu lalu menyapu jemari-jemari yang kini tampak agak gemetar. Ia bersumpah kalau cairan pekat merah yang tadi terlihat melumuri telapaknya—terasa begitu nyata dalam batas bunga tidur, membangkitkan kengerian lampau yang telah lama terkubur.
Apa lagi?
Satu tanya mengendap di batin. Christoff menyugar jurai-jurai rambut depannya yang berantakkan, lalu mengusap wajah frustrasi. Mimpi tadi, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dihantui begitu. Semua terasa tiba-tiba, seperti bencana tanpa pertanda. Kini, tidak ada rasa lelah atau kantuk yang terpuaskan. Waktu tidur yang telah ia habiskan semalaman justru malah berbuah keletihan yang kian liar, semangat paginya tertelan.
Christoff menekan begitu saja tombol alarm yang sedari tadi masih menyala, seketika membuatnya berhenti menjerit. Sebelum ia sempat membenamkan wajah kembali, dua tubuh kecil yang hangat dan penuh bulu, tiba-tiba sudah merangsek pelan ke pembaringan. Empat pasang kaki-kaki mereka terasa memijat-mijat gundukan selimut.
Ini alarm yang kedua, suara eongan si bulu oranye berbuntut pendek terdengar. Suara yang menurut Christoff lebih mirip "panggilan minta makan" ketimbang "panggilan sayang".
"Chotto." (Sebentar)
Christoff mengerang. Masih terlalu malas untuk beringsut dari tilam, apalagi meladeni Goma—si kucing tabby gendut—yang seringnya tidak tahu aturan kalau sedang lapar.
Eongan lain yang terdengar lebih manja pun mengalun. Shima—si kucing putih dengan beberapa corak oranye kecil—juga tak mau kalah dari saudaranya. Tanpa rasa berdosa, ia lalu dengan enaknya sudah duduk manis di atas perut Chirstoff. Itu adalah ultimatum pertama untuk si "Karyawan Pemalas".
"Hai, hai, wakatta." (Iya, iya, aku tahu).
Christoff menjawab dengan serak. Jemarinya lalu membelai sayang kepala-kepala mungil berbulu putih dan oranye yang tengah bergumul dalam dekap, berbagi hangat. Sekilas, ia tersenyum pada dua kesayangannya, untuk sejenak jadi merasa tidak begitu kesepian di tengah perantauan.
-:-:-
Bunyi butiran-butir makanan kucing terdengar memenuhi cawan-cawan yang terletak di dekat kulkas. Christoff menuangnya secara asal, beberapa tampak tumpah karena sepasang mata lelaki itu belum sempat membuka penuh—kelopaknya berat. Langkah Goma dan Shima pun menyerbu, mematahkan mitos "malu-malu kucing" yang selama ini beredar di masyarakat. Mereka makan sudah seperti kesetanan. Christoff kemudian hanya tersenyum simpul menyaksikannya. Anggap saja hiburan kecil di pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Roman d'amour"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...