38. Aster

270 23 7
                                    

Haris berkali-kali berganti pandangan antara lembar-lembar cetak dua dimensi dari departemen radiologi dengan wajah Dokter Kalina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haris berkali-kali berganti pandangan antara lembar-lembar cetak dua dimensi dari departemen radiologi dengan wajah Dokter Kalina. Dilihatnya lagi dengan saksama deretan citra penampang melintang bagian kranial itu.

"Maksud Dokter?"

Haris kembali memastikan kalau apa yang barusan ia dengar tidak salah. Lengannya terlihat tak lepas dari bahu Christoff, merangkul erat. Sesekali, ia mengusap-usap punggung sang putra yang terlapis kardigan rajut warna hitam. Punggung yang kini terasa kian ringkih dengan tulang-belulangnya semakin terasa menonjol ketika diraba.

Kalina sekilas menghela napas. Rautnya terlihat dipenuhi rasa bersalah. "Saya pun tidak sangka kalau ini akan kejadian. Mutasi ALK+ [1] memang jarang ditemukan pada NSCLC, tapi bisa saja berkembang seiring berjalannya treatment."

Kalina sesungguhnya betul-betul tak tega untuk mengatakan kenyataan pahit ini. Namun, ia juga tak punya pilihan. Diagnosisnya memang sudah tegak.

"Kasus yang satu ini memang berat dan langka, Pak Haris. Sekali lagi saya ... mohon maaf."

Haris kemudian menggenggam erat jemari Christoff yang terduduk di kursi roda di sebelahnya. Pria paruh baya itu seperti sedang mencari kekuatan kecil di sana. Putra sulungnya itu kemudian justru malah menatap dengan senyum yang terpulas lembut di bibir. Haris pun membalas meski terlihat begitu terpaksa dan canggung. Ia paham, menangis hanya akan meremukkan tiang-tiang ketegaran yang selalu dibangun Christoff.

Ketika Christoff memutus tatap dari mata ayahnya, pandangangannya berganti ke arah Kalina. Ia terlihat tenang sekali. Mata itu sedikit pun tak menampakkan ketakutan.

"Dokter jangan minta maaf. Dan Dokter semestinya tidak perlu kecewa sama apapun. Saya takut, Tuhan bisa-bisa malah marah sama Dokter," ucap Christoff setengah bercanda, begitu tanpa beban.

"Bukannya semua sudah digariskan sedari awal?" sambungnya, yang seketika membuat Kalina membisu, hanya mampu menatap dalam sendu.

"Jadi ... kira-kira berapa lama lagi, Dok?" tanya Christoff tanpa sedikit pun terdengar gentar.

Selama masa pengabdiannya bertahun-tahun sebagai seorang onkologis, Kalina memang kerap kali mendengar pertanyaan yang sama keluar dari mulut pasien-pasiennya. Namun, sampai detik ini, ia belum pernah sekali pun berani menjawab pertanyaan sejenis ini meski semua hanya akan sebatas kisaran angka-angka. Kalina hanya berpikir sederhana. Tetap saja, sampai kapan pun, ini memang bukan haknya sebagai manusia biasa.

Adriana, yang sedari tadi duduk di sebelah ayahnya, merasa jika semua momen yang tengah bergulir di depan matanya ini serupa sebuah lukisan aliran surealisme. Sampai pada momen ketika Christoff mengajukan pertanyaan perihal sisa waktu itu, ia barulah terpasung ketakutan dan menyadari jika segalanya adalah yang nyata.

"Christoff, soal itu ... saya—"

Sekuat hati, Dokter Kalina mencoba memandang pemuda penuh kesan itu tanpa ekspresi yang berlebihan. Tak lama kemudian, ketika pandangannya berpindah pada Adriana, ucapannya justru terjeda. Gadis itu sudah terlihat tak kuasa lagi menahan air mata.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang