3. Moleskine

536 57 30
                                    

"Far

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Far."

"Ck, Saka. Kamu ngapain, sih? Ini hari Sabtu, ya."

Suara serak Fara menjawab panggilan manja yang terdengar nyaring dari pengeras suara ponsel.

"Ya, iya, dong ini hari Sabtu. Masa hari Kamis?" tanggap pemuda yang tadi disapa Saka itu tanpa dosa.

"Aku nggak ada pemotretan hari ini. Jadwalku kosong."

"Memang siapa yang nyuruh kamu pemotretan?" balas lelaki dengan alis lebat dan manik mata yang ceria di ujung sana. Ia terdengar cengengesan.

Saka kemudian terlihat merapikan beberapa peralatan memotret ke dalam tas kamera. Latar tempat yang tampak seperti ruang tengah sebuah apartemen studio pun tersorot.

Fara terdengar mengerang. Ia masih enggan bangkit dari rebah. Kamera depan di gawai perempuan itu menyorot pipi serta separuh wajahnya yang masih mirip bantal.

"Di sini masih jam tujuh pula," timpal Fara lagi seraya melirik jam digital di atas nakas.

"Lho, memang sejak kapan Jakarta-Tokyo bedanya lima jam? Kamu lupa? Kepalamu kayaknya habis kejedot centong nasi, ya?"

Lagi-lagi, Saka melawak garing, sulit sekali diajak serius. Cengiran menggemaskan yang menampakkan lesung pipinya kembali terpulas tanpa dosa, membuat Fara urung kesal karena dibangunkan terlalu dini.

"Wake up, Sleepy Head. Temenin aku sarapan dan siap-siap. Minggu lalu aja waktu kamu Sabtu-sabtu photoshoot, kamu nodong aku buat nemenin sarapan. Jangan curang kamu, Non," pepet Saka. Manik mata hitam beningnya membulat menatap ke kamera.

"Hai, hai, wakatta. Sassato asa gohan o owara sete yo. Atoude doukou shimasu." Gadis itu akhirnya menyerah dengan sikap manja sang kekasih.

"Hadeh, ngomong bahasa Planet Namek lagi. Please, Far. Aku kenalnya cuma Nobita, Shizuka, Inuyasha, Kawasaki, sama Honda. Wakatta-wakatta itu aku nggak kenal. Yang bener aja kamu," gerutu Saka yang malah terdengar kocak di telinga Fara.

Sontak wajah jelita berparas campuran Jawa-Batak-Prancis itu tampak dipenuhi gelak tawa, memadati layar gawai Saka dari sudut ke sudut. Ia pun tak kuasa menahan senyum melihat tawa manis itu.

"Maksudku, 'Buruan sana sarapan. Aku temenin'," ungkap Fara kemudian.

Saka pun sontak memelesat ke meja makan seperti anak kecil kegirangan. Telur dan kentang rebus yang sudah siap di atas piring kemudian jadi santapan.

"Pelan-pelan, Ka. Makan yang baik. Kayak anak nggak dikasih makan seminggu aja," tegur Fara, diikuti cengiran geli yang mengembang. Saka kemudian hanya mengangguk cuek dan kembali bersantap lahap.

Suara yang lembut dan empuk; paras yang hampir selalu tampak cantik alami meski berantakan; serta senyum itu, semuanya adalah komposisi paling ideal yang akan membuat Saka lebih bersemangat di setiap harinya meski semua itu hanya mampu terbingkai dalam batas panggilan video di gawai. Begitu sederhana. Temu dan kontak fisik paling jauh yang ia dan Fara mampu rasakan mungkin hanya sebatas sentuhan jari dengan layar gawai.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang