7. Urusan

287 39 37
                                        

Aroma pekat kopi memenuhi penciuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aroma pekat kopi memenuhi penciuman. Tali Jiwo, "Kedai Kopi Berjalan" yang selalu nongkrong di bilangan Sabang itu, memang tak pernah sepi pengunjung. Mulai dari kawula muda sampai orang tua senang ngopi di sana. Sebut saja Mas Jiwo, bujangan asal Semarang usia tiga puluhan berambut godrong dan berewok lebat itu, adalah pemiliknya. Dijuluki Kedai Kopi Berjalan memang karena kedai kopinya itu bukanlah berbentuk bangunan, melainkan sebuah gerobak antik nan zadul yang bisa berpindah-pindah tongkrongan.

Tepat di sebelah gerobak kopi, ada gerobak roti pisang bakar milik Ko Aryo—bujang ramah asli Surabaya seumuran Mas Jiwo—yang juga tak kalah ramai. Dua orang pengusaha dengan jenis dagangan yang berbeda itu ternyata saling melengkapi. Kopi dan roti bakar, siapa yang bisa menolak kombinasi pas keduanya?

Hari itu selepas petang, Saka menyempatkan diri untuk mampir ke sana. Kopi buatan tangan Mas Jiwo mungkin adalah obat paling manjur untuk melarutkan penyakit suntuknya.

"Mau minum apa, Ka?" Mas Jiwo yang sudah kenal dengan langganannya itu menyapa dari balik deretan wadah-wadah berisi beragam jenis bubuk kopi lokal.

"Yang biasa aja, Mas," ujar Saka sembari menurunkan peralatan memotret dari pundak.

"Siap, Bos." Mas Jiwo pun bergegas meracik pesanan.

"Mas Saka!" Seruan dari gerobak roti pisang bakar Ko Aryo terdengar, Saka spontan menoleh. "Roti bakarnya sekalian nggak, Mas?"

"Pisang bakar aja, deh, Ko," jawab Saka, membuat sepasang bola mata Ko Aryo yang sipit makin terlihat hanya segaris. Ia tengah tersenyum riang.

Pelanggannya yang satu itu memang lucu. Setiap kali ditawari roti bakar, Saka pasti malah ingin pisang bakar. Kalau ditawari pisang bakar, dia pasti malah ingin roti bakar.

"Kejune sing akeh, Mas," tambah Saka dalam bahasa Jawa.

"Siap, Mas!" Ko Aryo terlihat mengacungkan jempol semangat.

Saka kembali membuka layar gawai. Notifikasi dari aplikasi perpesanan lagi-lagi tak bisa memuaskan dirinya. Sudah satu minggu lebih semenjak situasi panas di tempo hari dengan sang kekasih hati di telepon, Saka belum juga mau berusaha membereskan sisa-sisa kekesalan yang masih berserakan di batin. Ia sedikit pun tak berniat menjadi orang yang memulai maaf lebih dulu.

Saka secara utuh sadar jika hal seperti ini sudah jelas akan menjadi sebuah risiko dari hubungan jarak jauh yang telah ditekurinya bertahun-tahun silam itu. Namun setelah sekian lama, perasaan yang diharapkan akan semakin kuat, justru malah seperti hilang arah. Kadang di satu titik, Saka juga tak sanggup kalau harus menepis perasaan yang tak pernah berhenti menuntut kepastian.

Kalau mengingat hubungannya dengan Fara yang sudah sekian lama, tetapi tidak ada maju-majunya itu, Saka hanya akan selalu risi dengan target akhir yang bertengger di benak. Jenjang yang lebih serius rasanya masih terombang-ambing tak jelas dan malah terasa semakin jauh.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang