6. Fold it

279 35 29
                                    

Long Island Kitchen

"Rudy, satu medium rare lamb chop with dijon cream sauce, satu soupe à l'oignon, table 8!"

Seruan seorang lelaki terdengar tegas menyelip di sela-sela keramaian normal dapur. Wajah itu berkulit kuning cerah khas orang-orang berdarah orientalis, rambutnya potongan side parted. Seragam kebesaran chef yang berwarna hitam serta celemek putih di pinggangnya terlihat membalut tubuh jangkung nan berisi dari sosok lelaki penuh kharisma itu. Sepasang bola mata sipit Erwin, sang executive chef Long Island Kitchen, tampak bergerak ke kanan-kiri sembari membaca deretan kertas-kertas berisi daftar pesanan yang tergantung pada order window.

"Gisma, dua piperade, satu pan seared salmon with garlic butter, table 10!"

"Yes, Chef!"

Sahutan kompak terdengar dari arah bench-bench di belakang Erwin dimana Rudy dan Gisma berada. Momen adalah segalanya, sous chef dan semua bawahan terus bergerak cekatan. Lima menit bahkan adalah waktu yang begitu berharga di dapur.

Wajan-wajan dan permukaan pemanggang berdesis tiada henti. Suara-suara pisau beradu dengan alas pemotong menghasilkan bunyi, 'tuk, tuk, tuk', yang berirama. Piring-piring berderet pada meja plating, menunggu untuk diisi dengan mahakarya yang dapat dimakan. Bel akan terdengar berdering ketika mereka sudah diletakkan di order window, sebuah tanda bagi pelayan untuk mengantar pesanan hingga ke meja pelanggan.

Asap-asap dengan ragam aroma bercampur jadi satu, memenuhi setiap sudut dapur hingga berakhir menempel pada serat-serat seragam, bagai jejak yang tertinggal dari "medan perang". Ya, bagi mereka yang telah lama bergelut di sana, dapur memang layaknya medan perang. Keras. Harga diri para juru masak berada di atas piring-piring, layaknya harga diri para panglima di atas bilah-bilah pedang mereka.

Langkah kaki Erwin yang berlapiskan sepatu khusus yang anti slip, anti air, dan anti panas itu, terdengar bergerak gesit. Setiap peralatan dan kegiatan yang dilakukan di dapur memiliki risiko mencederai yang tinggi pada anggota tubuh, salah satunya kaki. Kalau ada malfungsi pada bagian itu, segala momentum di dapur bisa jadi tak terkontrol lagi. Kacau.

"Guys, tune in!" seru Erwin lagi ketika melewati lineman-nya yang sibuk di areal plating, menuang saus-saus yang menjadi pelengkap hidangan. "Keep your hands flat. You don't wanna make it into a drip."

"Yes, Chef!" Andara dan Wira yang bertugas di sana bersahut kompak.

Tangan-tangan Erwin yang sudah ber-jam terbang tinggi kemudian ikut membantu, dengan cekatan dan telaten dirinya menyendoki satu-per-satu saus ke dalam piring. Membuat mahakarya semakin cantik tertata.

Kala itu mereka sudah sampai pada tiga per empat dari waktu kerja, itu berarti hanya tinggal seperempat jalan lagi hingga tanda "closed" di pintu masuk restauran terpampang. Meski begitu, rasanya hampir tak ada sedikit pun pengenduran ritme kerja.

"Ahmad, cek lagi beef-nya. Jangan sampai terlewat."

Sejurus kemudian, Erwin sudah berada di dekat Ahmad—sang grill chef—yang masih sibuk depan pemanggang.

"Oke, Chef," ujar Ahmad yang masih selalu sigap.

Sepasang netra Erwin kembali bergerak cepat, mengawasi berbagai pergerakan anak buahnya. Dia kemudian sampai pada deretan panci-panci berisi sup dan beberapa saus yang hampir masak. Indera pengecapnya kembali bertugas. Gerakan sendoknya naik-turun, memastikan konsistensi pada hasil kerja si anak buah.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang