Shibuya dan pusat kota Tokyo memang selalu sibuk, seolah setiap meternya dipenuhi kecemasan dari tenggat waktu yang memburu. Namun, tidak dengan Daikanyama. Sesuatu memang selalu terlihat berbeda dari daerah itu, hanya ada secuil keramaian kota yang bisa ditemukan di dalamnya.
Daikanyama, di mana waktu seolah akan terasa berjalan lebih lambat dari daerah sekelilingnya. "Santai", satu kata yang mungkin tepat untuk menggambarkan pesona dari Daikanyama. Tidak ada derap langkah-langkah para pemburu mimpi yang terdengar buru-buru, orang-orang justru akan tampak berjalan dengan tenang.
Di sana, jelas-jelas bukanlah sebuah tempat bagi mereka yang takut dengan himpitan tenggat waktu dan kekang kecemasan akan kata 'terlambat'. Daikanyama seperti tidak butuh daftar agenda yang tersusun terlalu teratur dan rapi. Di sana, justru dipenuhi manusia-manusia yang doyan menghabiskan waktu untuk alasan yang sama sekali tidak spesifik. Ya, bersantai saja.
Selepas petang, Daikanyama semakin memesona. Gang-gang yang berliku akan diramaikan dengan penampakan toko dan kedai, serta kafe-kafe cantik yang diterangi nyala-nyala lampu kekuningan yang hangat. Apabila sehabis hujan rintik-rintik turun, orang-orang akan terlihat berjalan pelan di bawah lengkungan payung-payung transparan. Sisa genangan-genangan air di atas aspal akan memantulkan pendar-pendar iluminasi di sekelilingnya serta nyala lampu-lampu lalu lintas di pertigaan-pertigaan kecil.
"Aku akan pergi ke atas dulu dengan Takagi-kun," tukas Rhea—si mungil berambut panjang asal Filipina—dalam bahasa Jepang.
"Kami mau lihat-lihat sebentar ke bagian musik," sambung Takagi, lelaki Jepang jangkung berambut gondrong yang kira-kira seumuran Adriana. Ia lalu terlihat merangkulkan lengannya pada pundak Rhea.
"Okay, i'll see you guys at the café."
Mariko si gadis Jepang dengan rambut keriting memberi usulan, bicara dalam bahasa Inggris. Adriana dan Hansen kemudian kompak mengiyakan.
Situs-T Daikanyama—di Sabtu sore yang cerah itu—telah menjadi poros utama bagi kelima jiwa yang butuh waktu santai selepas lima hari yang begitu padat dengan jadwal kursus. Kompleks bergaya neo-modernis tersebut bagaikan jantung dari Daikanyama, di mana ia sudah dianggap sebagai gedung rekreasi tak resmi bagi masyarakat sekitar pemukiman di daerah itu. Situs-T Daikanyama memang milik segala usia—tempat berkumpulnya anak-anak muda kreatif, kaum kasmaran, kaum urban kantoran, anak-anak, hingga lansia.
"Kin-chan, kau mau cari buku apa?" tanya Mariko.
Kin-chan, adalah sapaan akrab yang diberikan Mariko pada Adriana, diambil dari nama depannya—Kinandari. Terdengar lucu dan lebih mirip seperti panggilan untuk anak laki-laki.
"Aku butuh buku resep French pastries," jawab Adriana seraya menyusuri deretan rak kayu. "Mariko sedang cari buku apa?"
"Aku ingin buku menu-menu klasik Amerika."
Mariko tampak memindai teliti dari atas ke bawah deretan judul buku pada rak di hadapannya. Sementara itu, Hansen ada ujung deretan rak, sedang serius lihat-lihat buku-buku masakan Jepang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romance"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...