Hari berputar, musim menua. Satu purnama telah berlalu lagi. Adriana kembali memandangi kelap-kelip lampu kota dari balik jendela apartemen studionya. Satu pekan bergulir semenjak ia tiba di kota perantauan baru, tetapi semua masihlah terasa asing. Wajah-wajah itu, bahasa, makanan, kebiasaan, sampai udara yang dihirupnya setiap detik—semua tak ada yang betul-betul sama.
Setiap kali langit memayungi langkah, hangat khatuliswa tak lagi bisa diraba oleh setiap jengkal kulit Adriana. Di tempat itu hanya ada dingin yang menerpa. Tokyo telah sampai pada akhir musim dingin, dan sekarang telah jadi rumah baru bagi Adriana.
Satu minggu pertama, Adriana habiskan untuk mencari tahu seluk-beluk lingkungan asing itu. Seorang kenalan dari grup berisi orang-orang Indonesia yang tinggal di Jepang pada sebuah jejaring perpesanan, telah banyak membantunya di masa-masa penjajakan. Sapa saja Riani dan Hansen, kenalan baru Adriana yang telah genap dua tahun tinggal di Tokyo. Kalau tidak ada mereka, Adriana pasti cukup kelimpungan.
"Sekali lagi, kalau Tuhan izinkan kamu ketemu dengan Chris, tolong sampaikan semua maaf Ayah untuk dia. Itu saja, Dri."
Kata-kata itu kembali terngiang di benak seiring dengan pandangan mata yang terlihat menatap kosong pendar-pendar iluminasi kota. Suara itu pernah berbisik lembut bersamaan dengan rengkuhan lengan yang semakin erat. Adriana masih mengingat betapa hangat dekapan ayahnya, sebuah tanda terakhir bagi dirinya ketika harus merelakan jarak membentang jauh di depan mata.
Kala itu, Haris dengan berat hati melepas sang putri bungsu untuk mengarungi jarak yang tak sedikit untuk menggapai asa. Semua tak akan lagi terasa sama untuk berbulan-bulan ke depan. Adriana paham bahwa sang waktu takkan pernah mengerti hingga akhirnya buncahan rindu akan tercipta karenanya.
"Dri, lagi apa?"
Suara riang dan wajah ceria Mona menyapa ketika sebuah panggilan video dari aplikasi perpesanan masuk di gawai Adriana.
"Aku habis balik dari supermarket, Mon."
Mona, sahabat baiknya itu memang tak pernah berhenti untuk selalu menjadi tempat berkeluh-kesah terbaik. Adriana sedari awal memang telah menahan rindu pada rumah dan ayahnya dengan cara tidak terlalu sering melakukan komunikasi lewat telepon ataupun pesan. Sebagai gantinya, bicara dengan Mona adalah cara terbaik untuk melepas semua cerita kangennya.
"Adri! Apa kabar?"
Seruan lucu seketika terdengar. Wajah Rino mendadak muncul dari balik punggung Mona, ikut menyapa. Jajaranbench, kompor-kompor, serta pemanggang; kulkas-kulkas besar; plating table; dan areal cold kitchen, segala elemen latar tempat di belakang mereka, menunjukkan kalau keduanya masih ada di areal dapur Long Island.
"Eh, Chef Rino. Baik, Chef. Chef Rino apa kabar?"
"Adri, Kamu kesambet apa? Nggak lagi di dapur pake manggil saya 'Chef' segala?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romance"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...