27. Terpisah

162 21 7
                                    

"Saka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saka."

"Ya?"

"Makasih, ya. Sudah disimpenin bukunya," ungkap Adriana, diikuti senyuman. Ini sudah jadi yang kedua kali gadis itu kembali mengucapkan terima kasihnya.

"Santai aja," balas Saka, tetap kasual.

Adriana memang sempat mengira kalau Saka adalah penguntit atau semacamnya yang ingin berbuat hal yang tidak-tidak. Namun, semua kecurigaannya mendadak sirna dan ia pun mendadak jadi jinak ketika Saka menyodorkan jurnal bersampul kulit itu pada pertemuan mereka di Stasiun Shinjuku. Binar mata gadis itu lantas terlihat jelas, seperti orang yang baru saja menemukan harta karun terependam.

Entah sudah karena kebiasaan atau apa, buku itu memang setiap harinya selalu masuk ke ransel bersama semua perlatan memotret Saka. Beberapa hari lalu, sebelum berangkat ke Jepang, ia memang sempat berpikir kalau mungkin tidak akan membawa benda temuan itu. Namun kemudian, niat itu urung.

Masih saja buku itu Saka selipkan ke dalam ransel sebelum menuju bandara. Ia pun tak paham mengapa perlu melakukannya. Dan kini, Saka masih saja sulit percaya kalau keputusannya yang terkesan sangat remeh itu, justru telah mengantarnya pada pertemuan dengan sang pemilik.

Menit-menit itu bergulir, Saka kembali memandang ruang kecil di sekelilingnya. Satu jam sebelumnya, peron di jalur Yamanote Stasiun Shinjuku, telah menjadi saksi bisu pertemuan tak terduga dengan Adriana. Dan kini, tanpa mampu diterka, ia pun berakhir di ruang tengah apartemen gadis itu.

Terpisah dari empat kawannya—yang ternyata sudah lebih dulu naik kereta untuk liputan ke Ikebukuro—serta kondisi gawai yang ternyata telak habis daya, membuat Saka tidak punya pilihan selain mengikuti saran Adriana untuk ikut ke apartemennya. Saka hanya berpikir kalau sangat tidak mungkin untuk pergi menyusul ke Ikebukuro tanpa panduan gawai dan juga kondisi komunikasi yang terputus. Pikiran penuh kelakar Saka juga tak kalah berbisik jika akan sangat tidak lucu kalau dia sampai berakhir diculik paksa oleh gerombolan Yakuza, lalu direkrut sebagai anggota geisha.

"Kamu betul-betul nggak ingat saya, ya?" Saka kembali memastikan. Adriana kemudian hanya menggeleng lagi.

"Memangnya kita pernah ketemu?" Sekarang malah gadis itu yang dibuat bingung. Ia lalu tampak menyeruput teh dalam gelasnya.

"Kita sering ketemu di halte. Kamu ingat, 'kan? Saya saja ingat sering lihat kamu nunggu bus di sana," Saka meyakinkan, cukup bersikeras tanpa terlihat canggung.

Adriana hanya menyunggingkan cengiran polos, lalu menggeleng kikuk. "Sori, saya beneran nggak ingat."

Bukannya merasa aneh karena hanya Saka seorang yang selama ini selalu mengingat pertemuan mereka yang sangat tidak sengaja. Adriana justru merasa bersalah sendiri, seolah dirinya jadi satu-satunya pihak yang terlampau apatis.

"It's okay," ujar Saka, akhirnya menyerah.

Saka hanya berpikir praktis. Mungkin berprofesi sebagai fotografer tanpa sadar telah membuatnya menjadi orang yang sangat peka terhadap sekeliling. Mengingat wajah manusia ataupun kepekaannya menangkap cerita dunia dari sudut pandang berbeda, telah menjadi kebutuhan dasar bagi otak Saka.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang