5. Shibuya

370 42 34
                                    

Kilatan blitz menyerbu seiring suara-suara dari bukaan diafragma yang terdengar mengerjap cepat, membuat setiap momen terbekukan dalam kepingan kartu memori

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kilatan blitz menyerbu seiring suara-suara dari bukaan diafragma yang terdengar mengerjap cepat, membuat setiap momen terbekukan dalam kepingan kartu memori. Lensa-lensa itu bukan untuk diindahkan. Fara—sang pemilik kaki jenjang—juga tak perlu tersenyum lebar. Itulah cara untuk membuat perhatian semua orang hanya terpusat pada pakaiannya. Ia hanya perlu fokus berjalan di atas runway. Semua awak media—termasuk puluhan pasang mata audiens yang ada di kanan-kiri lintasan lurus itu—menyorot pada brown fur coat potongan A line dan boots jenjang yang ia kenakan.

Eyes on prize.

Begitulah Fara membatin saat ujung dari langkahnya telah terlihat. Hadiah terbesar bagi gadis itu sesungguhnya adalah melepas segala riasan yang terpoles di wajah serta menanggalkan mantel-mantel berat. Di kepala sudah terbayang nyamannya pembaringan di kamar yang sepi.

Ini sudah jadi sesi peragaan busana ketiga yang harus ditekuri Fara pada hari itu. Pekan pagelaran mode musim dingin menyergapnya. Porsi kerja Fara langsung meroket, jadwalnya padat berisi.

Tiba di bagian puncak dari peragaan, Fara hanya perlu berjalan lurus dalam satu baris bersama para peragawati lain. Ia tak perlu berhenti sejenak untuk melenggak-lenggok di ujung runway, terus saja berbelok kemudian berjalan lagi hingga keluar dari partisi yang memisahkan backstage. Terakhir, sang perancang busana akan keluar dari backstage untuk menyapa pemirsanya. Suara riuh-rendah tepuk tangan pun terdengar—sebuah tanda bahwa keletihan Fara telah berakhir. Ia bebas dari semua kekang lampu sorot serta tatapan semua pasang mata.

Backstage penuh ingar-bingar. Semua rekan peragawati berkumpul sejenak, mendapat ucapan terima kasih yang bertubi-tubi dari sang perancang busana sambil menunduk-nunduk sopan. Otsukaremasadeshita[1], sudah pasti selalu menjadi kalimat favorit Fara di ujung hari yang melelahkan.

"Oh, shoot!"

Fara tiba-tiba merutuk saat dirinya menemukan deretan panggilan tak terjawab serta pesan di layar gawai. Pikirannya mendadak kacau, sekacau kepingan puzzle jigsaw yang berserakan di lantai. Ia tahu bahwa dirinya telah mengulang kesalahan yang sama lagi.

"Kamu ke mana aja?"

Suara yang terdengar tebal itu menjawab cepat saat panggilan video daring tersambung.

"Ka, sori. Aku lupa banget." Nada suara itu terdengar begitu bersalah. Fara menggigit bibir.

"Far, aku sudah nunggu kamu satu setengah jam, tahu?" Orang di ujung sana kini terdengar kesal.

"Ka, maafin aku. A-aku betulan lupa. Dari tadi siang aku ada show tiga sekaligus. Aku betul-betul minta maaf, ya?"

Hela napas kemudian terdengar di ujung sana, membuat perasaan bersalah semakin menumpuk di batin Fara.

"Kamu kenapa sering banget kayak gini sih, Far?"

"Ka, aku—"

"Besok-besok nggak perlu janji kalau kamu ragu."

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang