"Dua lemon soufflé table 18, service!"
Adriana meletakkan wooden board dengan dua porsi soufflé yang baru matang pada order window. Safira, sang pramusaji, dengan sigap kemudian mengantarnya ke meja pelanggan.
Erwin—si Executive Chef—kini sudah tidak lagi menjadikan Adriana bagai kelinci percobaan setiap kali menu relik itu dipesan. Erwin sekarang tahu jika intuisi commis-nya sudah bukan yang prematur lagi. Dalam memasak berbagai makanan penutup, termasuk soufflé, Adriana sudah bukan lagi anak ingusan yang harus selalu diawasi dan diintimidasi.
"Adri, soufflé-mu persis buatan Ibu. Enak sekali. Nanti, pasti Kakak akan kangen sekali rasa soufflé buatanmu."
Dua tahun berlalu. Namun, rasanya masih terlalu dini untuk bisa melepaskan bayang-bayang kesedihan akan kehilangan orang tersayang. Soufflé dan segala kudapan lain yang pernah ia masak, takkan pernah berhenti mengingatkan Adriana akan akhir pekan yang hangat bersama ayahnya dan juga Christoff.
Perlahan, dalam dua tahun ini Adriana dan Haris tak pernah berhenti belajar untuk selalu bangkit lagi, mencoba untuk kembali terbiasa dengan kehampaan di tengah-tengah keluarga mereka. Ya, Adriana begitu berusaha. Sebab, ia tahu ibu dan kakaknya akan selalu ada di sana, melihatnya untuk tetap bahagia.
Hari-hari kini masih seperti biasanya. Semenjak pagi Adriana akan datang ke Long Island Kitchen untuk sesi food prep. Menjelang siang, jam kerjanya dimulai, dan restauran akan buka sampai malam. Ramai dan hectic-nya dapur, rasanya tak pernah membuat Adriana bosan, mengalihkan kesepian yang kerap datang. Setiap hari, selalu saja ada hal-hal menarik yang bisa dipelajari dan dicatat ke dalam moleskine kesayangannya.
"Mbak Adri," sapa Darryl—rekan pramusaji Safira—yang tiba-tiba sudah muncul di areal cold kitchen.
"Ya?"
Adriana yang tadi sibuk di depan bench-nya dan baru saja selesai dengan saus chocolate ganache pun, spontan menoleh.
"Tadi ada titipan, nih."
Darryl mengangsurkan selembar amplop cokelat seukuran A4 pada Adriana.
"Dari siapa, Ryl?" tanya Adriana.
Sepasang alis matanya tampak bertaut di pangkal. Gadis itu lalu perlahan membuka amplopnya.
"Itu yang tadi duduk di table 18, yang pesan soufflé."
Darryl hanya menjawab singkat, kemudian buru-buru memelesat lagi. Pesanan lain sudah menunggu untuk diantar olehnya.
Adriana sontak dibuat tercenung ketika didapatinya selembar foto ukuran A4 terselip di dalam amplop. Senyum rikuh lantas terpulas pada garis bibir. Panas menjalar cepat ke pipi hingga keduanya beranjak merah. Rona mawar pun bersemu di wajah manis Adriana. Ia sungguh dibuat heran sekaligus tersipu malu oleh sang pengirim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soufflé (FIN)
Romance"There's no such a thing as perfect Soufflé, and so are our life." Soufflé, sejenis kudapan manis nan ringan, tetapi penuh intrik dan rawan kegagalan dalam proses pembuatannya. Rentang hidupnya yang hanya sesingkat napas (mungkin napas yang sangat...