31. Kencan

204 26 0
                                        

Adriana tak pernah merasa seaman itu ketika pagi datang, dan jejak kehangatan tubuh Christoff teraba di atas tilam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adriana tak pernah merasa seaman itu ketika pagi datang, dan jejak kehangatan tubuh Christoff teraba di atas tilam. Sosok kakak kesayangannya kini telah berada di dekatnya lagi. Meski begitu, Adriana pun tak pernah merasa sebegini pilu ketika permainan pura-pura harus ia jalani. Pagi itu, kala matahari masih sembunyi, sejujurnya ia telah mendapati Christoff yang masih harus berjibaku dengan kepayahan tubuhnya sendiri. Dalam diam, Adriana mendengar erangan yang tertahan dari arah kamar mandi. Terasa menyayat, tetapi tak ada yang mampu ia lakukan.

Ketika sang kakak kembali ke pembaringan dan mengusap puncak kepalanya dengan sayang, Adriana kemudian mendapati wajah itu dengan senyum hangat.

"Pagi," sapa Christoff begitu baik, dengan raut yang seolah telah bebas dari rasa sakit. Adriana kemudian hanya membalasnya dengan senyum tertahan.

Goma dan Shima—dua teman kecil kesayangan Christoff—juga sudah terbangun. Tanpa malu-malu, mereka lalu melompat ke atas kasur, memberi ucapan selamat pagi yang sama pada Adriana, menggesekkan tubuh-tubuh mereka. Adriana sontak dibuat terhibur dengan tingkah keduanya

"Kak."

"Hm?"

Adriana terdiam sejenak, jemarinya masih mengelus bulu-bulu Goma dan Shima. Sesungguhnya ada begitu banyak gelisah di ujung lidah ketika ingin berlisan. Sejujurnya, segala tanya akan semua rentetan kejadian yang terjadi kemarin hari, masih sangat jelas terpeta dalam ingatan. Namun kemudian, urung. Adriana hanya berpikir jika mengungkapkan semua itu hanya akan menambah beban pikiran Christoff.

"Kak Chris lagi pengin sarapan apa?" tanya Adriana, mencoba mengalihkan kegelisahannya sendiri.

Mendengarnya, Christoff tampak berpikir sejenak, kemudian ia sunggingkan cengiran di bibir.

"Nasi goreng," sebut pemuda itu semangat.

Dan lalu, di pagi itu, dapur kecil Christoff pun penuh dengan aroma sedap yang mengingatkan akan rumah. Melihat punggung mungil Adriana dari balik meja pantry dan berkutat cekatan dengan alat-alat dapur, telah membuat Christoff tak mampu menyembunyikan senyum penuh kelegaan. Adiknya sekarang sudah menemukan kebahagian dan impiannya sendiri, memasak adalah bagian dari dunianya.

Citarasa itu lalu dibuat sama persis dengan buatan sang mendiang ibu, menu nasi goreng kampung lengkap dengan telur mata sapi pun mengisi perut. Bertahun-tahun Christoff di perantauan, belum pernah kediaman kecilnya bisa terasa sebegini hangat.

Pagi itu, ia pun mendengar obrolan sederhana yang menyenangkan terlontar dari bibir Adriana. Bahagia rasanya mendengar Adriana bercerita tentang dunia barunya di bidang kuliner, tentang kesannya pada Negeri Sakura, ataupun segala hal-hal kecil yang selalu membuat gadis melemparkan tawa. Segala kisah—yang ikut tersaji di atas meja makan kala itu—masih terasa sama seperti dulu. Sama seperti ketika setiap pulang sekolah, Christoff akan mendengar segala cerita Adriana tentang harinya.

Adriana pun selalu mendapati kehangatan itu dalam setiap kata dan gestur yang hadirnya dari sosok Christoff. Telinga dan hati kakaknya seolah tak pernah jemu mendengar setiap cerita, tanpa sedikit pun ada niat menghakimi. Dan ketika rindu kembali terucap dari bibir Adriana, Christoff akan tampak mengusap puncak kepalanya lagi dengan penuh sayang.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang