11. Tetangga

239 32 30
                                    

Fara kembali mendongakkan kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fara kembali mendongakkan kepala. Telapak tangannya menengadah pada langit gelap yang memayungi tatkala ia keluar dari kedai kopi sebelah pintu keluar timur Stasiun Meguro. Senyumnya mendadak terkembang saat butir-butir putih dari langit menyentuh halus ujung-ujung jemari. Ia hampir tak percaya karena penghujung musim dingin telah tiba. Namun, ternyata Tokyo masih ingin memberi kejutan. Ya, sebuah fakta tentang bagaimana semua hal sejatinya tak ada yang mustahil bagi Tuhan.

Salju—kasih sayang Sang Pencipta yang jatuh dari langit dengan bentuk mikroskopik yang begitu cantik dan detail. Para cendekiawan lewat penelitiannya bahkan pernah memperkirakan jika setiap keping salju yang jatuh ke bumi takkan memiliki bentuk yang sama persis. Itulah mengapa Fara selalu mencintai salju.

Sejurus kemudian kebiasaan aneh itu mendadak kumat lagi. Bukannya langsung beranjak pulang ke rumah, ia justru malah memilih untuk berteduh di halte bus depan stasiun. Berlama-lama di luar memandangi titik-titik putih itu jatuh ke bumi adalah ritual kesukaannya di kala musim dingin. Fara tahu, kadang dia bisa sangat tidak adil. Bagaimana bisa dirinya yang selalu benci musim dingin, tetapi mendadak bisa begitu mencintainya kala salju turun.

Lagi-lagi, perangkat audio analog itu kembali menemani. Trek nomor 2—New York, New York gubahan Frank Sinatra—mengalun ceria dengan intro iringan terompet khas Broadway-nya. Lucu, "New York, New York" jelas-jelas sangat tidak berkaitan dengan tempat dan situasi yang ada di hadapannya sekarang.

Orang-orang terlihat ramai melintas seiring dengan bus-bus yang juga sesekali berhenti di depannya. Dingin hawa di sekitar telah membuat gestur-gestur hangat dari seberang jalan mulai tampak jelas. Beberapa orang terlihat saling merengkuh jemari, merangkulkan lengan-lengan mereka pada bahu-bahu yang lain, atau membiarkan pasangan-pasangan mereka memasukkan tangan ke saku mantel.

Fara berpikir, kalau saja sekarang dirinya sedang di rumah, pasti dia sudah menjepit lintingan kretek di antara sepasang buah bibirnya. Merokok di balkon apartemen sambil menikmati rintik putih salju.

Kebiasaannya mengisap batangan penuh TAR dan nikotin, entah kenapa hanya akan berlangsung sesekali di kala musim dingin. Seolah bagai ritual perayaan untuk menyambut hari bersalju yang istimewa. Di waktu lain, dia terbilang sangat-sangat langka melakukannya.

"Samui, ne?" (Dingin, ya?)

Sebentuk suara mendadak membuat Fara bergidik. Spontan ia pun menoleh.

"Chris?" seru Fara. Sepasang bola mata beriris kecokelatannya tampak membulat. Ia mendapati sosok sang kawan lama sudah hadir di sebelahnya.

"Hei, Fara," sambung Christoff, menyapa. Pandangannya bertaut hangat dengan Fara. Ia tersenyum sembari melambai kecil.

"Bikkurishita! Nande koko ni iru?" (Ngagetin aja! Kamu kenapa bisa di sini?) tukas Fara, masih dengan pandangan takjub. Ia masih dibuat tidak percaya jika harus kembali dipertemukan dengan lelaki itu pada situasi yang tak terduga.

Soufflé (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang