Bab 2

42 3 6
                                    

Just info

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Just info.

Aku pakai bahasa baku utk percakapan Anya & family karena mereka bukan asli Indonesia, jadi terbiasanya pakai bahasa formal. Kecuali Karl, yang sedikit banyak bisa bahasa gaaaooll krn emang punya teman dari Indonesia.

Dan kalau2 bingung nih, untuk beberapa part ke depan, setiap awal part bakal ada flashback, dan flashbacknya bakal nyambung (masih satu waktu) sama flashback di part selanjutnya.

Happy Reading ....

...

“Apa Mutti menyayangiku?” tanya Anya di suatu sore sembari memotong wortel.

Maggie yang sedang dibantu menyiapkan menu makan malam kontan menoleh pada putri bungsunya. “Kenapa menanyakan hal yang sudah pasti?”

Anya meletakkan pisaunya. “Mutti pasti tahu bagaimana terkekangnya hidupku pada semua aturan Vati.”

“Itu untuk kebaikanmu, Odet.”

Tanpa mengangkat muka, Anya menggeleng. “Apanya yang baik? Moza saja pernah hidup bebas dengan tinggal sendiri di Indonesia, sedangkan aku? Sedikit kebebasan saja tidak punya. Aku tidak minta kehidupan yang persis sama seperti Moza. Aku hanya ingin ... hidup sedikit lebih bebas dan punya teman.”

Maggie tertegun mendengarnya. Matanya menyorot Anya yang masih setia menunduk menatap potongan wortel di hadapannya. “Kamu tidak punya teman di sekolah?”

Anya mengangguk sambil memasang muka masam. “Mana ada yang mau berteman jika jam bermain saja tidak punya. Setiap jam sekolah berakhir, anak lain masih bisa jalan-jalan ke sana-ke mari, tapi aku harus pulang tepat waktu.” Wajah Anya terlihat semakin murung. “Bahkan aku iri pada Karl yang tinggal di asrama karena dia pasti punya banyak teman.”

Maggie menghela napas. Rasa iba yang sempat muncul, mendadak lenyap begitu mendengar kalimat terakhir sang putri. Ia lantas melipat tangan di depan dada, bersandar pada konter dapur. “Jangan pasang muka sedih, Odet. Mutti tahu kamu hanya pura-pura.”

Anya mendengkus. Akting memelasnya gagal mengelabui sang ibu. Kepalanya terangkat, menatap wajah Maggie dengan bibir mencebik. “Padahal aku sudah pasang wajah semenyedihkan mungkin.”

“Aku hampir tertipu, sampai kamu bilang iri pada Karl yang tinggal di asrama.” Maggie terkekeh geli. “Mustahil kamu iri setelah sering mendengar Karl mengeluh tentang bagaimana sulitnya tinggal di asrama.”

Bibir Anya semakin mengerucut. Ibunya benar. Ia sama sekali tak iri, bahkan akan menolak dengan tegas jika disuruh tinggal di asrama. Toh, tinggal di rumah atau asrama rasanya pasti sama saja. Sama-sama terkekang oleh peraturan.

“Jadi, apa yang kamu mau?” Kini Maggie memasang wajah serius. “Kamu tahu sendiri, kamu sudah beberapa kali membujuk ayahmu, tapi tidak pernah berhasil.”

Secretly Looking at You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang