Pian membuka matanya. Mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya yang kabur karena bangun tidur. Selama beberapa saat matanya menatap langit-langit hingga menyadari jika tirai yang tadinya menutup mengelilingi ranjang, kini sudah tersingkap.
Kepalanya lantas menoleh ke ranjang Anya. Ia sedikit terkejut saat melihat gadis sudah bangun dan tengah menatapnya dengan posisi tidur menyamping.
Pian mengulas senyum sambil turut memiringkan badan ke arahnya. "Lo udah nggak apa-apa?" tanyanya seraya menajamkan telinga untuk memastikan sudah tidak ada lagi suara petir yang terdengar. "Kayaknya hujannya udah berhenti."
Anya tak menjawab, hanya diam sambil terus menatapnya.
Menyadari ada yang salah, Pian mengangkat badam, duduk di tepi ranjang dengan kaki yang menggantung. "Kenapa, Nya?"
"Maaf," ucap Anya tiba-tiba.
Pian mengerutkan alis. "Maaf buat apa?"
Anya menggeleng pelan, lalu balik badan untuk memunggungi Pian. Membuat cowok itu menatapnya dengan raut kebingungan.
"Kamu sudah enakan?"
Pertanyaan itu membuat Pian menoleh ke arah pintu, melihat Ridan yang datang sambil membawa dua gelas teh.
Ridan meletakkan minuman itu ke meja, lalu menghampiri Pian untuk mengecek kembali suhu tubuh anak itu. Melihat suhu tubuh Pian sudah turun, ia pun mengembuskan napas lega. Tangannya lantas terulur memberikan teh hangat yang ia bawa tadi kepada Pian. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada Anya yang sedang memunggungi mereka.
"Minum dulu tehnya selagi hangat."
Anya bergeming.
"Saya tahu kamu sudah bangun," ucap Ridan. Beberapa saat lalu, saat akan pergi setelah mengecek keadaan dua muridnya itu, ia melihat Anya bangun dan membuka tirai. Gadis itu sempat hendak beranjak, tapi begitu mendapati Pian ada di sebelah ranjangnya, Anya justru kembali berbaring sambil terus menatap cowok itu.
Terdengar decakan malas sebelum akhirnya Anya bangkit untuk duduk sambil menatap ketus ke arah Ridan.
Ridan memberikan teh untuk Anya, tapi gadis itu hanya memandang malas cairan coklat bening itu tanpa niat menyentuh apalagi meminumnya.
Ridan menghela napas. "Saya sudah punya nomor papa kamu. Saya bisa telepon dia kapan saja kalau kamu bertingkah seperti ini."
"Es ist mir egal (Aku tidak peduli)," gumam Anya sambil memalingkan muka.
"Ich rufe ihn jetzt an (Aku akan meneleponnya sekarang)." Ridan mengeluarkan ponselnya, tapi langsung disahut oleh Anya. "Gib es mir zurück (Kembalikan padaku)."
Anya tak menggubris. Gadis itu sibuk mengotak-atik ponsel Ridan, mencari kontak Ludwig untuk ia hapus.
Melihatnya, Ridan mendesah lelah. Ia duduk di ranjang Pian, berhadapan dengan Anya. "Percuma kamu hapus, karena saya sudah telepon papa kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...