Selama beberapa hari sejak diperbolehkan pulang ke rumah, kegiatan Pipit hanya duduk dan melihat Awa bermain. Meski kegiatan belajar-mengajar sudah kembali aktif, Kukila belum mengizinkan Pipit untuk pergi. Rasa bosan pun mulai menghampiri. Terlebih karena Pipit merasa ada yang hilang dalam hidupnya.
"Ma ...," panggil Pipit, membuat Kukila yang tengah menonton drama menoleh. "Aku pengen es krim, deh."
Kukila mengangguk. "Biar mama beliin."
Melihat Kukila beranjak dari duduknya, Pipit buru-buru mencegah. "Ma, biar aku pergi sendiri aja."
Kukila mengernyit. "Memang kamu ingat tempatnya? Nanti kalau kamu nyasar gimana?"
"Aku kan punya mulut, bawa hape juga. Bisa nanya atau telepon Mama kalau ada apa-apa." Pipit meyakinkan. "Aku pergi sendiri, ya?"
"Aku ikut!" Awa tiba-tiba menyela. "Mau ikut! Mau ikut!"
"Anak kecil di rumah aja," tolak Pipit.
"Nggak mau!" Awa berkeras, berdiri di depan Pipit yang hendak pergi. "Pokoknya mau ikut!"
"Nggak! Gue nggak mau ngajak adik jelek kayak lo!"
"Abang juga jelek!" Awa merengek, tangannya menarik-narik ujung kaos Pipit. "Mau ikut! Pokoknya mau ikut Abang Jelek."
"Nggak!"
"Ikut!"
"Nggak!"
Kukila menatap keduanya dengan helaan napas. Wanita itu hendak melerai, tapi bel rumah lebih dulu terdengar.
Di depan pintu, Apin yang baru pulang sekolah datang untuk berkunjung. Meski sejak sadar sikap Pipit sama sekali tak bersahabat, Apin tak pernah absen untuk mengunjungi temannya itu. Harapannya cuma satu, jika Pipit tak bisa mengingatnya, setidaknya ia bisa merajut pertemanan dari awal. Walau Pipit masih suka julid, Apin tak berniat menggantikan cowok itu dengan teman yang lain.
"Syukur deh kamu datang." Kukila langsung menyambutnya penuh kelegaan. "Ayo, buruan masuk."
Dengan raut bingung, Apin menurut saja saat Kukila menyeretnya ke dalam. "Emang kenapa, Tante?"
Sambil berjalan ke ruang tengah, Kukila berkata, "Pipit bilang mau es krim, maunya pergi sendiri. Awa maksa ikut, tapi Pipitnya nggak mau. Pusing tante dengerin mereka berantem. Jadi, nitip jagain mereka, ya. Biar tante aja yang pergi."
Apin hanya bisa tersenyum pasrah. Kalau Kukila selaku mamanya saja merasa pusing, apalagi dirinya.
"Nitip mereka sebentar ya, Apin ganteng," pamit Kukila setelah mengambil dompet di atas meja. "Kalau mereka cakar-cakaran, biarin aja. Asal nggak bunuh-bunuhan."
Apin mengangguk dengan senyum kecut. Ia lantas menoleh pada Pipit dan Awa yang masih bertengkar. Dilihatnya Awa bahkan mulai mengamuk. Gadis kecil itu melemparkan mainan masak-masakannya ke arah Pipit sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...