Long conversation.
🔸🔸🔸
"Karena saya benci Moza. Saya memang tidak tahu apa yang sudah terjadi sama Moza, tapi yang pasti, gara-gara dia, Vati jadi membatasi semua gerak saya."
Perkataan Anya terus berputar di kepala Ridan. Termasuk bagaimana ekspresi kesal dan terlukanya gadis itu.
"Gara-gara Moza, Vati melarang saya keluar rumah dengan alasan keselamatan. Vati memperlakukan saya seperti orang yang bisa mati kalau terkena udara luar. Pak Ridan tahu apa yang saya rasakan? Saya seperti dipenjara oleh keluarga saya sendiri!"
Ridan tak tahu kehidupan seperti apa yang sudah gadis itu jalani. Namun, mendengar semua keluhannya, Ridan bisa menyimpulkan jika hal yang pernah menimpa Moza membuat Ludwig mengawasi Anya kelewat ketat. Hal yang sebenarnya wajar dilakukan seorang ayah untuk melindungi anak perempuannya. Hanya saja, proteksi yang lelaki itu lakukan mungkin terlalu berlebihan hingga membuat Anya merasa terkekang.
"Karena itu saya kabur ke Indonesia. Sendiri. Tanpa teman, tanpa keluarga. Saya nekat mencari Pak Ridan sampai ke sini karena Moza selalu menulis hal-hal baik tentang seseorang bernama Ridan di buku hariannya. Di negeri yang tidak saya kenal ini, di tempat di mana saya tidak punya seseorang untuk bergantung, saya tetap nekat datang, mengharapkan kebaikan orang yang bernama Ridan bisa membantu saya."
"Tapi, nyatanya Ridan yang ada di depan saya justru membuat garis batas hanya karena sepotong sandwich yang saya beri. Pak Ridan nyatanya tidak sebaik apa yang Moza tulis. Moza hanya terlalu bodoh menilai seseorang. Mungkin Moza tidak sadar kalau yang namanya Ridan hanya seorang penipu. Bisa jadi Pak Ridan berbuat baik karena menginginkan sesuatu. Dan mungkin karena kebodohannya itu juga, Moza jadi mengalami hal buruk yang akhirnya mempengaruhi hidup saya. Tapi, saya bukan Moza! Kenapa saya harus mendapat perlakuan seperti ini gara-gara apa yang terjadi sama Moza?"
Ridan menghela napas, menenggak sisa bourbon di gelas dalam genggamannya, lalu meminta bartender untuk kembali mengisinya, hingga tiba-tiba seseorang menyambar gelasnya.
"Lo nyuruh gue ke sini bukan buat gendong lo yang mau minum sampai wasted, kan?"
Ridan menoleh pada Theo yang kini menempati kursi kosong di sebelahnya. "Gue besok masih ngajar. Nggak mungkin gue minum sampai mabuk."
"Ya-ya." Theo menjawab malas, memesan minuman untuk dirinya sendiri, kemudian kembali menoleh pada Ridan. "So? What's wrong?
Ridan menegakkan duduknya. Matanya menatap lurus deretan botol alkohol yang berjajar di rak belakang bartender. "Dia adiknya Moza."
Sebelah alis Theo terangkat. "Siapa? Oh! Murid baru yang lo bilang mirip Moza itu?"
Ridan mengangguk. "Dia bilang, vatinya terlalu membatasi geraknya, dan dia kabur ke sini. Sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...