Pipit menghentikan motornya di parkiran sekolah. Kepalanya lantas celingukan ke kanan dan kiri sembari melepas helm. Hal itu seolah jadi agenda rutinnya tiap pagi selama beberapa hari terakhir. Helaan napas lega seketika terembus begitu ia tak melihat keberadaan teman-temannya di area itu. Ia merasa jika sejauh ini perjuangannya untuk bangun pagi dan berangkat lebih awal tak sia-sia.
Pandangannya kini beralih pada Anya yang sudah turun dari boncengan dan tengah kesulitan melepas helmnya. Ia reflek mendecak, tangannya terulur untuk membantu.
"Ngelepas gini doang nggak bisa," cibirnya.
Anya enggan mendebat, membiarkan tangan Pipit melepas kuncian di bawah dagunya. Matanya memilih berkeliling, melihat parkiran motor yang selalu masih lengang setiap mereka datang. "Kita tidak kepagian?"
"Nggak." Pipit menjawab singkat, lalu menarik lepas helm Anya dan meletakkannya di salah satu spion.
Anya menatapnya malas. Merasa sebal karena gara-gara cowok itu, ia harus memaksa diri untuk bangun lebih cepat. Padahal, setiap mereka tiba di sekolah, parkiran baru terisi kurang dari lima motor, dan bel masuk sekolah pun baru akan berbunyi 45 menit lagi. Jadi, bagian mananya yang tidak kepagian?
Pipit turun dari motor, buru-buru menghadang Anya yang sudah lebih dulu beranjak. "Berhubung lo nggak bayar ongkos buat berangkat dan pulang sekolah, gue mau minta hal lain sebagai gantinya."
Anya mengerutkan keningnya. "Tapi kata Mama--"
"Gue nggak minta duit lo. Gue minta yang lain."
Tangan Anya reflek menyilang di depan dada, mendekap dirinya sendiri, matanya memicing curiga, dengan kepala yang menggeleng ribut. "Tidak boleh, Pipit."
Mata Pipit melebar. "Heh! Bukan itu maksud gue!"
"Lalu apa?" tanya Anya tanpa menurunkan tangannya, tanpa mengurangi sikap waspadanya.
"Gue minta jangan ngomong-ngomong ke yang lain kalau kita tinggal bareng," ujar Pipit. Ia tak mau teman-temannya berpikir macam-macam tentang dirinya. Apa kata orang kalau dirinya yang di pertemuan pertamanya dengan Anya bersikap ketus, tiba-tiba kini tinggal serumah? Gengsi, dong!
"Oh." Anya menyahut singkat sambil menurunkan tangannya. Permintaan Pipit bukan hal sulit, karena sejak awal dirinya memang tak berniat membocorkan tempat tinggalnya pada orang lain. Semakin sedikit yang tahu, kemungkinan keberadaannya ditemukan oleh sang ayah pun akan semakin kecil.
"'Oh' doang? Jawab, kek. Iya apa nggak?"
"Iya, Pipit." Anya menjawab kalem.
"Bener, ya?" Pipit kembali menatap ke sekitar, sebelum kembali menatap Anya. "Ya, udah. Gue jalan dulu. Lo agak jauhan. Minimal 5 meter di belakang gue."
Mulut Anya terbuka tak percaya, tapi tangannya segera mencekal tangan Pipit saat lelaki itu berbalik.
"Eh! Jangan pegang-pegang! Bukan muhrim!" Pipit spontan melepas tangan Anya sambil melihat ke sekeliling dengan pandangan panik, sebelum kembali menatap Anya. "Apa? Cepetan ngomongnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...