Bab 15

31 2 6
                                    

"MERPATI BISA, MERPATI JAYA! MENANG, MENANG, MENANG!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"MERPATI BISA, MERPATI JAYA! MENANG, MENANG, MENANG!"

Hempasan tangan yang bertumpu diiringi sorakan penyemangat menjadi penutup latihan mereka di pagi hari. Begitu selesai, Atlan langsung menuju kursi, duduk di sana dengan kepala menunduk.

Apin, Pian, dan Pipit hanya melihatnya tanpa niat mendekat. Meski amarah sudah mereda, ada jarak tak kasat mata yang masih membentang di antara mereka.

"Pak, kita pamit mau ganti seragam." Pian berucap lebih dulu.

“Iya. Selesai ganti, langsung masuk ke kelas,” pesan Ridan yang langsung diangguki ketiganya.

Sebelum beranjak, Pipit kembali menatap Atlan. Walau sempat merasa kesal karena ketulusan persahabatannya diragukan, Pipit tak bisa untuk sepenuhnya tak peduli. Ia mengambil botol air mineral dari dalam kardus, kemudian meletakkannya di samping Atlan tanpa berkata apa-apa. Tak peduli apakah minuman pemberiannya akan diterima atau dibuang begitu saja.

Atlan melirik botol yang Pipit berikan, lalu membuang napas berat setelah melihat Pipit berjalan menjauh. Tangannya meraih botol itu, kemudian menenggak isinya hingga tandas.

Ridan yang masih berada di sana memperhatikan interaksi di antara mereka. Tanpa perlu bertanya, ia bisa menebak jika ada perseteruan yang telah terjadi hingga membuat keduanya tak saling sapa.

Kaki Ridan melangkah mendekati Atlan, mengambil tempat di sebelah murid didiknya itu. "Kamu kenapa? Dari tadi saya lihat kamu nggak terlalu semangat buat latihan. Ada apa?" 

Tangan Atlan menutup botol minumnya seraya menoleh pada Ridan. "Saya ... rindu Ayah. A-a-andai Ayah masih ada, pasti sa-sa-saya tidak akan dikekang sa-sa-sama Bunda."

Mendengarnya membuat Ridan kembali mengingat Altra, sosok ayah Atlan yang dikenalnya belasan tahun silam.

"Saya suka vo-vo-voli, tapi Bunda tidak mengizinkan karena Ayah dulu suka main voli. Saya ingin naik motor sama seperti teman-teman, tapi ji-ji-jika Bunda tahu, dia pasti akan marah besar. Bahkan gaya bicara saya diatur oleh Bunda karena takut dia akan teringat dengan A-a-ayah."

(Baca "Steal Him" karya dasxzry)

Ridan tak tahu harus berkomentar apa. Kepergian memang selalu menjadi hal yang paling sulit diterima. Hal yang jelas menjadi pukulan tersendiri bagi orang-orang yang ditinggalkan. Dan untuk menghadapi kehilangan itu, setiap orang pasti mempunyai caranya sendiri. Begitu juga dengan langkah yang bunda Atlan lakukan.

"Saya sering mendapati Bunda menangis setiap ma-ma-malam. Andai Ayah masih ada, pasti keluarga kami bakal bahagia.”

Sesekali, Ridan mengusap bahu Atlan. Menenangkan anak itu sepanjang ia bercerita.

“Bapak tahu? Foto Ayah yang diam-diam saya simpan ternyata ketahuan Bunda. Akhirnya, dia ba-ba-bakar foto itu. Saya tidak punya kenangan lagi.”

Hati Ridan merasa tercubit. Meski hanya selembar foto, benda itu jelas sangat berarti bagi Atlan. Bahkan, dirinya sendiri rela memaksa sang kakak untuk membeli rumah yang pernah Moza tempati hanya karena tak ingin kehilangan memori kebersamaan singkatnya dengan gadis itu. Namun, apa yang ia dan Atlan rasakan adalah dua hal yang berbeda. Altra sudah tiada, sedangkan Moza masih ada di dunia ini. Di suatu tempat yang bisa ia datangi kapan saja jika ia mau.

Secretly Looking at You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang