"Ngerokok mulu," celetuk Theo yang baru datang. "Kalau kayak gini, biasanya ada-ada, nih." Ia mendudukkan diri di kursi kosong sebelah Ridan. "Kenapa?"
Ridan menyesap rokoknya dalam-dalam, kemudian melepas asapnya ke udara. "Nggak. Cuma pengen rokokan aja. Lo ngapain ke sini?"
"Nemuin kesayangan gue, lah," jawab Theo sinis, kepalanya celingukan ke pintu masuk rumah yang terbuka. "Mana dia?"
"Masih belanja sama emaknya."
"Berdua aja?"
"Bertiga." Ridan menjawab pendek, tanpa repot menjelaskan.
Theo manggut-manggut sebelum kembali menilik raut wajah Ridan yang kini menatap jalanan depan rumah dengan pandangan menerawang. Theo melipat tangan di depan dada, lalu menjatuhkan punggung ke sandaran kursi. "Ada masalah di tempat ngajar lo yang baru?"
Ridan kembali menyesap rokoknya, kemudian mengetukkan ujungnya yang sudah berubah jadi abu ke tengah asbak. "Nggak ada. Gue cuma ... ngerasa sedikit menyesal pindah ke situ."
"Kenapa?"
Ridan melirik Theo sesaat, sebelum mengalihkan pandangannya ke batang nikotin dalam jepitan jarinya. "Gue ketemu anak yang mirip banget sama Moza." Ridan menggeleng pelan. "Gue jadi sedikit hilang fokus gara-gara itu."
Ada selang beberapa detik, hingga Theo memberi respon. "Seberapa mirip?"
"Sangat mirip. Gue kayak ngelihat Moza zaman SMA. Bedanya, ini versi mininya." Ridan tersenyum saat mengingat perawakan Anya yang mungil dengan tinggi tak sampai 150 cm. "Yang jelas, she looks ... cheerful. Hal yang gue harapin bisa ada di wajah Moza sekarang."
"Dan karena itu lo sekarang jadi kangen sama Moza?"
Pertanyaan itu membuat Ridan terdiam sejenak, meresapi rasa sesak yang kembali merambat dalam dada. "She is someone I always miss."
Theo menatapnya dalam, hingga akhirnya menghela napas. "Gue emang nggak ada hak buat nyuruh lo move on atau semacamnya, but ... it's almost 15 years, Dan. Mau sampai kapan lo nungguin Moza? Lo sendiri yang bilang dia nggak bakal balik lagi."
Bukannya tersinggung, ucapan Theo justru membuat Ridan tertawa. Lelaki itu meliriknya dengan sebelah alis terangkat. "Lo nggak lagi ngomongin diri sendiri, kan?"
Paham maksud Ridan, Theo pun menendang kaki kursi pria itu. "Kampret!"
Ridan semakin tergelak.
"Jangan ngalihin pembicaraan." Theo melanjutkan. "Mau sampai kapan? Lo kemarin ke Jerman juga nggak dapat apa-apa, kan?"
"Gue ke Jerman buat liburan," dalihnya.
"Tai," umpat Theo, tahu betul apa yang Ridan lakukan di sana. "Padahal lo tahu alamat rumahnya, kenapa nggak ketuk pintu dan temui langsung?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...