Bab 17

33 2 5
                                    

Masih pagi, Andreas yakin Pian belum berangkat ke sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih pagi, Andreas yakin Pian belum berangkat ke sekolah. Ia berniat mendatangi anak itu untuk melepaskan kekesalannya karena sudah kalah judi. Namun, saat hampir sampai di depan pintu rumah yang terbuka, langkahnya terhenti mendengar percakapan yang terjadi di dalam sana.

“Kamu tahu kan aku lagi pulang? Capek!” Suara Devi, mantan istrinya terdengar jelas. “Lagian, dia itu udah tua. Wajar kalau sakit-sakitan! Bentar lagi juga mati!”

“Nggak sepantasnya Mama bilang seperti itu sama wanita yang udah ngelahirin Mama!” Kali ini suara Pian terdengar. Nada suara anak itu meninggi usai mendengar perkataan sang ibu. “Kalau Mama nggak mau, bilang nggak mau! Jangan ngeluarin kalimat yang bakal bikin Nenek tambah sakit!”

“Udah berani sama orang tua?”

“Selama ini, Mama nggak selayaknya orang tua!”

Ucapan Pian terasa menusuk. Kalimat itu seolah tak hanya ditujukan pada Devi, tapi juga pada dirinya yang tak pernah berlaku selayaknya seorang ayah.

Plak!

“Devi!”

Suara tamparan keras disusul jeritan panik Nenek Sekar terdengar.

“Diem! Anak ini emang harus dikasih pelajaran biar nggak makin kurang ajar!” bentak Devi.

Andreas tak tahan lagi. Ia segera masuk. Di ambang pintu, matanya seketika melebar saat melihat Pian tengah meringkuk di lantai, melindungi kepalanya dari pukulan yang Devi layangkan. Amarah Andreas terpantik. Dengan tangan mengepal, kakinya melangkah lebar memasuki rumah itu.

“Devi!” bentaknya. “Berani kamu main tangan ke anakku?”

Suara berang Andreas mengalihkan atensi ketiga orang di rumah itu.

“Oh? Udah ngakuin kalau ini anak kamu?” tanya Devi dengan nada mencemooh.

Tanpa memedulikan pertanyaan wanita itu, Andreas memilih menghampiri Pian, membantu anak itu untuk berdiri, lalu membawanya berlindung di balik punggung.

“Pergi!” usir Andreas. Matanya menatap nyalang ke arah Devi seraya mengambil vas dari kaca yang berada di atas meja. “Atau kamu, aku bunuh sekarang?”

Devi mendecak malas, tapi kemudian beranjak menginggalkan rumah itu.

Embusan napas berat lolos dari bibir Andreas.  Ia lantas berbalik, mendekap tubuh sang putra, mengecup puncak kepala Pian dengan penuh penyesalan. “Maaf ....”

Nenek Sekar yang selama ini hanya bisa mendengar bagaimana Pian mendapat siksaan dari sang ayah, kali ini mampu tersenyum lega.

Andreas melepas pelukannya. Menatap sang putra sambil mengusap hati-hati luka di wajah anak itu. “Sakit? Mau diobatin?”

Ada sorot ketakutan di mata Pian saat tangan Andreas menyentuhnya. Saat itu juga Andreas menyadari jika Pian selalu menunjukkan sorot mata yang sama setiap ia datang. Rasa sesal dalam hatinya semakin bertumpuk. Selama ini, putranya hanya bisa menerima semua kesakitan yang orang tuanya berikan, tanpa pernah bisa melawan.

Secretly Looking at You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang