Bab 28

31 2 5
                                    

“Mutti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mutti ....” Anya belum menyerah atas usahanya untuk pergi ke Indonesia. “Kalau Mutti tidak yakin aku bisa menemukan Ridan, aku masih punya rencana cadangan.”

Maggie menghela napas. “Kamu punya rencana apa lagi?”

“Bukankah Tara ada di Indonesia?”

Dahi Maggie berlipat. “Kamu mau menemuinya?”

Anya menggeleng. “Ini hanya rencana cadangan. Seandainya aku tidak menemukan Ridan, aku akan mencari Tara. Jadi, Mutti tidak perlu khawatir aku akan hilang atau berada dalam bahaya. Mutti hanya perlu memberiku alamat rumah Tara di Indonesia. Aku janji akan langsung menemuinya kalau rencana awalku tidak berjalan lancar.”

Maggie menatapnya selama beberapa saat, kemudian mengangguk. “Oke. Jika kamu tidak menemukan Ridan, cari Tara, lalu pulang kembali ke sini.”

Bibir Anya mengembangkan senyum. Ia langsung menghambur memeluk Maggie. “Terima kasih, Mutti.”

🔸🔸🔸

SMA Merpati mulai ramai didatangi penonton kedua tim yang akan bertanding. Pipit berkali-kali harus menarik Anya mendekat karena gadis itu tidak fokus melihat jalannya. Kepalanya sibuk celingukan ke kanan dan kiri seolah sedang mencari seseorang.

“Fokus, dong, Nya.” Pipit mulai lelah. “Lo bisa nabrak orang kalau jalan kayak gitu.”

“Iya, iya,” jawab Anya tanpa benar-benar menghiraukan perkataan Pipit.

“Ck!” Lagi, Pipit menarik Anya saat gadis itu hampir menabrak bapak-bapak. “Lo nyari siapa, sih?”

“Ridan.”

Mata Pipit berputar malas. Ia lantas menarik Anya ke dekat dinding, menahannya agar tak lagi  berjalan. “Nya, serius, dong.”

Anya berkedip-kedip, menunggu Pipit melanjutkan kalimatnya.

“Lo mau bilang cinta lagi ke Pak Ridan?” tanya Pipit.

Anya mengangguk sambil tersenyum.

“Kayak nggak ada cowok lain aja sih, Nya. Masa lo nembak om-om?” Pipit masih tak mengerti. “Lagian, sekarang lagi banyak orang, lho. Lo mau nembak terang-terangan kayak kemarin? Minimal malu, kek.”

“Kenapa harus malu?”

“Lo pikir aja, masa murid nembak gurunya?”

“Lalu?”

Apa yang Pipit khawatirkan sepertinya tidak masuk ke otak minimalis Anya. Ia lantas mengubah arah bicaranya. “Gini, deh. Lo nggak apa-apa kalau Pak Ridan disebut grooming, pedofil, atau predator gara-gara ditembak muridnya sendiri? Lo nggak masalah kalau Pak Ridan dikeluarin dari sekolah gara-gara tingkah lo ini?”

Kapan lagi Pipit rela membela Ridan kalau bukan saat ini? Bulu kuduknya sampai merinding pada apa yang ia lakukan.

Anya memikirkan kata-kata Pipit. Ia jelas tak mau gara-gara kelakuan isengnya, Ridan justru terkena masalah. “Kamu benar.”

Secretly Looking at You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang