Gempa, kepergian teman-temannya, keadaan Pian dan Pipit yang belum juga sadarkan diri, lalu kedatangan Ludwig yang tiba-tiba sukses membuat tubuh Anya--yang dasarnya memang sudah kelelahan karena kurang istirahat--akhirnya menyerah. Gadis itu tumbang, jatuh pingsan setelah meluapkan isi hatinya.
Di dalam kamar rawat, Ludwig duduk di kursi sebelah ranjang, memandang wajah lelap sang putri dengan sendu. Sebagai seorang ayah, kedatangannya murni karena khawatir. Orang tua mana pun pasti akan mengambil keputusan yang sama untuk membawa putri mereka pulang setelah bencana yang terjadi.
“Maaf, Pak.” Ridan yang baru kembali dari kantin rumah sakit menginterupsi keheningan di ruangan itu. “Sebaiknya Bapak makan dulu,” lanjutnya seraya meletakkan satu kotak makanan di meja.
Ludwig beranjak menuju sofa tunggu yang ada di sisi kiri kamar, kemudian menatap Ridan yang masih berdiri di dekat ranjang Anya. “Terima kasih, Ridan. Kamu sendiri tidak makan?”
“Sudah. Sebelum ke sini.”
Ludwig mengangguk seraya mengembuskan napas berat. “Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi di rumah sakit yang sama.”
Ridan hanya mampu tersenyum tipis. Ingatannya reflek memutar memori lama saat Ludwig datang untuk kali terakhir karena Moza yang masuk rumah sakit akibat menyayat pergelangan tangannya sendiri.
Mata Ridan melirik sekilas pada Anya yang masih menutup mata sebelum pandangannya kembali tertuju pada Ludwig. “Saat pertama kali mengenal Moza, dia orang yang dingin. Dia lebih memilih memendam perasaannya dibanding menceritakannya. Tapi, Anya berbeda. Dia ceria, gampang bergaul, bahkan bisa berkata jujur pada saya--yang hanya orang asing--tentang kebenciannya pada Moza.” Ridan lantas tersenyum saat teringat bagaimana Anya menyebutnya penipu. “Dia juga nggak ragu untuk mengatakan hal buruk pada orang yang membuatnya kesal.”
Ludwig menatap kotak di hadapannya dengan pandangan menerawang. “Sebenarnya Moza juga gadis yang seperti itu saat seumuran Odet.”
Benar. Ridan masih ingat bagaimana Moza mengatainya verrückt gara-gara pernah melihatnya berpura-pura menjadi pacar teman lelakinya yang saat itu sedang digoda oleh mas-mas melambai.
(Baca "Altraksa (My Absurd Husband)" karya dasxzry)
“Tapi Moza berubah sejak kejadian itu,” sambung Ludwig. “Dia menjadi tertutup. Lebih memilih melakukan semuanya sendiri.” Ludwig melepas napas berat. “Aku tidak berniat membatasi pertemanan Odet. Aku hanya tidak mau Odet terlalu dekat dengan teman-temannya. Moza pernah terlalu mempercayai temannya sampai dirinya dijebak untuk melakukan hal kotor yang akhirnya membuat hidupnya kacau.”
Ridan bisa melihat kekhawatiran di wajah pria itu.
“Kaburnya Odet, itu di luar dugaan.” Ludwig menaikkan matanya, menatap wajah Anya dari tempatnya duduk. “Selama ini aku selalu menuruti keinginan Odet dengan harapan dia tidak merasa membutuhkan teman. Bukan berarti aku melarangnya berteman, aku hanya ingin menundanya. Setidaknya sampai Odet cukup dewasa untuk tahu resiko dari setiap keputusan yang dia ambil. Di usianya sekarang, Odet bisa saja melakukan sesuatu tanpa pikir panjang hanya karena ajakan teman-temannya. Aku tidak mau dia sampai salah pilih teman dan kejadian yang Moza alami kembali terulang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...