“Hanya karena nama Meinhard, bukan berarti aku bisa menganggapnya kakak! Kamu seharusnya tahu kalau ibu kami berbeda.”
Anya berjalan sambil mengembuskan napas panjang. Ia tidak bermaksud berkata seperti itu. Hanya saja, jika sudah berkaitan dengan Moza dan orang-orang yang memedulikan kakaknya itu, ia jadi merasa kesal dan tak bisa mengontrol kata-kata.
Semua orang hanya peduli pada Moza. Semua orang mengatakan jika mereka tak ingin hal yang Moza alami terulang pada dirinya. Selalu saja nama Moza yang disebut dan menjadi penghalang langkahnya untuk melakukan segala hal yang ia mau.
Pemikiran-pemikiran itu membuat suara Anya merasa tak dianggap. Merasa dirinya dikecilkan seolah tak bisa menjaga diri sendiri. Pada akhirnya, yang bisa ia lakukan hanya menyalahkan Moza yang lemah karena mengalami sesuatu—yang ia tak tahu apa itu—hingga Anya dianggap sama lemahnya.
“Hai, Rubah Kecil Berbulu Angsa.”
Anya yang tadinya berjalan menunduk perlahan menaikkan pandangan, menatap Tara yang berdiri tak jauh di depannya sambil tersenyum.
“Capek?”
Kedua sudut bibir Anya terangkat tipis. Sejak dulu, memang hanya Tara yang paling mengerti dirinya. Kepala Anya lantas mengangguk, kemudian mendekat dan memeluknya singkat.
“Du fehlst mir (Aku merindukanmu),” ucap Anya seraya melepas pelukannya, kemudian sedikit mendongak untuk menatap lelaki jangkung di hadapannya itu.
Tara mendecih. “Bohong banget. Tadi aja kamu lari.”
Anya balas mendengkus dengan bibir mencebik. “Itu karena aku takut kamu akan menghubungi Vati atau Karl, lalu menyuruhku pulang.”
“Terus, sekarang udah nggak takut?” Tara mengangkat sebelah alis, sengaja menggodanya.
Anya semakin melengkungkan bibirnya ke bawah. “Masih.”
Tara terkekeh ringan, tangannya lantas merapikan rambut Anya yang berantakan. “Karl khawatir sama kamu.”
Mata Anya berputar malas. “Dia hanya khawatir pada dirinya sendiri. Dia pasti dimarahi karena sudah membiarkanku kabur.”
Tara memilih tak berkomentar, hanya membalas ucapan Anya dengan senyuman.
“Oh, iya. Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?” tanya Anya yang mendadak penasaran. “Apa Vati yang memberitahumu?”
“Om Ludwig?” Kedua alis Tara terangkat. “Nggak. Waktu kamu kabur, Karl ngasih tahu aku. Katanya, kemungkinan kamu nyari orang yang namanya Ridan Arigani. Jadi, aku cari-cari info and ... here I am.”
Anya mengangguk paham. “Kamu tidak akan menyuruhku pulang, kan?”
“Kamu mau pulang?” Tara justru balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretly Looking at You (END)
Romance"Ich liebe dich, Bapak Ridan." Tanpa malu, Anya mengucapkan hal itu. Ridan yang mendengarnya dibuat tertegun. Pasalnya, gadis remaja itu mengucap kata cinta padanya--guru yang memiliki perbedaan usia nyaris 20 tahun. "Dia lagi latihan buat drama...