Malam pernikahan Sakura dipenuhi dengan bayang-bayang kepedihan yang tersembunyi di balik senyumnya. Meskipun malam ini seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, tetapi baginya, ruangan itu terasa sepi dan berat. Sakura duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, mencerminkan kekosongan emosional yang menghantuinya.
Gaara dengan lembut mendekatinya, ingin merayakan momen spesial ini dengan kehangatan. Namun, Sakura menarik diri, merasa seperti dihantui oleh bayangan masa lalu yang tak kunjung pergi. Setiap sentuhan terasa seperti beban, mengingatkannya pada kenyataan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan impian masa kecilnya.
Sakura mencoba menyembunyikan perasaannya, tetapi wajahnya yang terlihat lesu dan matanya yang mencerminkan kesedihan mengungkapkan kebingungan yang teramat dalam. Gaara merasa ketidaknyamanan itu, mencoba memahaminya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Malam pernikahan yang seharusnya penuh dengan keintiman dan kebahagiaan malah terasa suram. Sakura merindukan ketenangan dalam pelukan Sasuke, dan rindu itu membuatnya takut membuka diri pada Gaara. Setiap sentuhan Gaara terasa seperti menggali luka yang belum sembuh, membuat malam yang seharusnya indah menjadi malam yang terasa hampa dan menyedihkan.
Saat Gaara mencoba menciumnya dengan penuh kasih, Sakura menahan diri, tidak mampu memberikan respon yang sesuai. Keinginan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut membuatnya menutup diri, menciptakan kesenjangan emosional yang menyelimuti malam pernikahan mereka. Perasaan Sakura yang terluka dan sedih menciptakan rintangan di antara mereka, menghadirkan kekhawatiran bahwa mungkin cinta sejati belum sepenuhnya ditemukan dalam pernikahan ini.
"Gaara, maafkan aku," ucap Sakura pelan, menundukkan kepalanya dan tak sanggup menatap wajah Gaara. Sakura merasa tak sanggup melihat ekspresi kecewa yang tergambar di wajah pria itu meskipun pada kenyataannya pria itu hanya menghela nafas dan tersenyum kecil.
Tangan Gaara terulur, mengusap pipi Sakura sampai kepala wanita itu terdongak untuk menatapnya. Gaara dengan senyuman kecilnya itu berbisik pelan. "Tidak apa-apa Sakura, aku mengerti. Aku mencintaimu, kau cukup memahami hal itu. Aku tidak akan memaksamu, aku akan menunggumu hingga siap."
Kata-kata Gaara hanya mendapati keheningan dari Sakura sampai akhirnya Gaara memutuskan untuk memberikan ruang pada Sakura. Dia berdiri dengan perasaan berat, meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata pun. Langkahnya yang meninggalkan pintu kamar terdengar seperti getaran keras di tengah keheningan yang kian menyelimuti.
Sakura duduk sendirian, meratapi kekosongan yang melingkupi malam pernikahannya. Suara pintu yang tertutup menggema di dalam benaknya, menciptakan rasa sendiri dan terpisah. Gaara, yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya, meninggalkan kamar dengan perasaan kegagalan dan kebingungan yang tak terungkap.
Perpisahan itu memberikan waktu untuk refleksi, tetapi juga meninggalkan ruang hampa yang memperdalam ketidakpastian diantara mereka. Sakura duduk dalam kegelapan, meratapi malam pernikahan yang tidak seperti yang ia bayangkan, sementara Gaara mencari jawaban di lorong keheningan, mencari cara untuk meretas dinding emosional yang telah terbangun. Sampai mereka berakhir tidur di kamar yang berbeda dan terbangun di pagi hari dengan suasana yang berbeda.
Berusaha untuk menebus rasa bersalahnya karena telah menolak pria itu semalam, Sakura berinisiatif untuk memasak makanan kesukaan pria itu dulu.
"Gaara!!" Sakura sedikit berteriak, memanggil nama pria itu usai masakannya selesai namun tak ada sahutan apapun dari pria itu.
"Apa mungkin masih tidur?" ucap Sakura bertanya-tanya, berakhir membawanya untuk mencari pria itu itu disetiap sudut rumah namun tetap tak menemukannya.
Sementara itu, Gaara berdiri di depan sebuah makam yang secara jelas bertuliskan nama Sabaku Temari, sosok kakak pertamanya. Pria itu berdiri dalam balutan pakaian hitam, mengantungi tangannya di saku celananya. Ekspresi wajahnya yang biasanya selalu Sakura lihat lembut itu kali ini tampak mengerikan. Matanya yang biasanya penuh dengan kelembutan dan kehangatan, kini berubah menjadi dua mata yang memancarkan bara kemarahan. Alisnya terkerut, menciptakan garis-garis ketegangan yang jelas di dahinya
"Apakah kau mengingat Uchiha Sasuke Kak? Pria yang menjadi sahabat baikmu, pria yang membantumu mengambil alih perusahaan?" tanyanya tiba-tiba, sebuah pertanyaan yang ia tujukan kepada kakaknya yang sudah tiada itu.
Gaara tertawa terbahak-bahak. "Pria itu, tidak disangka berhubungan dengan Sakura, mantan kekasihku sendiri. Dia yang sudah membantumu merebut apa yang seharusnya menjadi milikku tentu harus aku balas."
"Karena aku tidak bisa berpuas diri Kak. Aku tidak sempat menghancurkan hidupmu karena kau mati lebih dulu. Tentu aku berbahagia, karena perusahaan yang seharusnya menjadi milikku benar menjadi milikku. Tapi dia? Orang yang mendukungmu mana bisa kubiarkan berbahagia. Aku akan membuatnya menderita, membawa wanita yang ia cintai bahkan anaknya untuk berada di sisiku," ucap Gaara dengan tatapan bencinya, mengepalkan tangannya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu.
Gaara kembali ke rumahnya yang besar dan megah, melangkah melewati lorong-lorong sepi dengan bayang-bayang kebencian yang masih menyelimutinya. Namun itu tak berlangsung lama, Gaara mendapati Sakura di ruang tamu. Gaara kembali berekspresi lembut saat mata mereka bertemu. Ekspresi dingin dan penuh kebencian tadi seolah lenyap, digantikan oleh kelembutan yang pernah dikenal Sakura.
Sakura, dengan ekspresi wajah yang penuh kekhawatiran, bertanya dengan lembut, "Gaara, kemana saja? Aku mencarimu."
"Maafkan aku, Sakura. Aku hanya perlu waktu untuk merenungkan segalanya," jawabnya dengan suara tenang dan Sakura langsung terbayang apa yang terjadi semalam, cukup untuk membuatnya merasa bersalah kembali.
Namun Gaara tersenyum seolah itu bukanlah apa-apa, mengambil peran yang penuh kepura-puraan saat ia secara lembut menggenggam tangan Sakura. "Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah. Di hidup ini, aku hanya perlu kau di sisiku."
Kalimat yang manis namun penuh dengan tipu daya. Lihat bagaimana senyuman kelembutan terukir secara nyata di bibir pria itu, mengungkapkan keindahan yang tak sejalan dengan hatinya yang penuh kegelapan itu. Siapa yang akan menyangka pria dengan sejuta kelembutan dan kehangatan itu adalah iblis mengerikan yang berusaha memperdaya Sakura. Namun Sakura jelas tertipu dengan baiknya tampilan pria itu.
"Terima kasih, maaf Gaara. Aku mungkin belum bisa memberikan hatiku sepenuhnya padamu tapi aku akan berusaha karena itu Gaara, ajari aku mengenal duniamu hingga aku bisa memberikan hatiku sepenuhnya padamu," ucap Sakura dengan senyuman ketulusan. Wanita itu bersungguh-sungguh, ia tak ingin menyakiti perasaan Gaara yang baginya sudah berkorban banyak untuknya.
Gaara menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, aku akan mengajarimu bagaimana duniaku sekarang."
Tatapan Sakura melembut, membayangkan kehidupan pernikahan mereka yang bahagia dan kelahiran bayi yang akan melengkapi kebahagiaan mereka kelak. Ekspresi wajahnya penuh cahaya, dan matanya berbinar-binar memancarkan kegembiraan yang mendalam.
Sakura memegang perutnya dengan penuh kelembutan, menyentuh tempat di mana kehidupan baru sedang berkembang. Senyumnya melebar, menggambarkan antusiasme dan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setiap bayangan ketidakpastian atau kecemasan tergantikan oleh raut wajah yang penuh harapan dan optimisme.
Dalam imajinasi Sakura, mereka melangkah bersama melalui serangkaian peristiwa kehidupan yang membawa tawa, canda, dan ciuman kecil. Perasaan bahagia dan harapan itu menjadi seperti mata air kehidupan, memberi energi dan semangat untuk menjalani setiap detik kebersamaan mereka dengan penuh sukacita namun tentunya itu hanya imajinasi belaka, pernikahan itu tidak sesempurna apa yang Sakura bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fuzzy Butterfly
FanfictionWanita cantik berbahaya yang dibalut pesona, gambaran yang cocok untuk mendeskripsikan Sakura. Sayangnya karena sebuah kesalahpahaman, Sakura mengira jika dirinya di mata Sasuke, tidak lebih berharga dibandingkan Hinata. Saat perasaan lelah mencinta...