Satu bulan sudah berlalu, rekor baru tentunya karena terakhir kali Sakura kabur itu hanya bertahan sampai satu minggu. Sebenarnya Sakura tidak tahu itu pertanda baik atau buruk namun setidaknya ia merasa aman sekarang, tidak ada yang mengikutinya sehingga ia bisa memulai hidup barunya walaupun sebenarnya Sakura cukup merasa was-was awalnya, ia takut Sasuke akan menemukannya namun sepertinya Mikoto benar-benar melakukan apa yang ia katakan sebelumnya, Sasuke tidak akan menemukannya seperti terakhir kali.
Sekarang Sakura memulai hidup barunya di Los Angeles, ia tinggal di sebuah apartemen yang tidak terlalu mewah namun cukup luas dan nyaman baginya. Sakura punya cukup banyak uang bahkan ia menyewa sebuah tempat untuk membuka usaha bakery yang ia inginkan. Sakura menguras banyak uang dari tabungannya namun setidaknya ia belum menggunakan cek yang Mikoto berikan untuknya.
Kehidupan yang damai dan nyaman walau terasa cukup sunyi dan asing. Sejujurnya Sakura masih belum benar-benar terbiasa dengan rutinitas barunya, ini terasa berbeda. Dulu ia bekerja dibalik komputer yang membuat matanya terasa perih, mencium aroma tinta hampir setiap hari namun sekarang semuanya berbeda, hanya ada aroma wangi roti yang baru saja dipanggang. Sakura menyukainya, setidaknya hobi memanggang roti yang ia geluti bersama ibunya dulu bisa berguna.
"Selamat datang!!" ucap Sakura dengan bersemangat dan ramah, segera membalikkan tubuhnya untuk menyambut pengunjung pertamanya di hari ini usai mendengar suara bel yang dipasang di pintu berbunyi nyaring.
"Sakura...." Suara panggilan lembut penuh keterkejutan itu terdengar namun Sakura lebih terkejut dibandingkan pria itu. Tubuhnya terasa sedikit kaku, tak menyangka akan bertemu dengan pria itu setelah sekian lama tak bertemu.
"Gaara," panggil Sakura pelan, memanggil nama pria yang amat luar biasa di hidupnya itu. Pria yang pernah berbagi kasih dengannya, menjadi bagian dari hidupnya dan sukses besar memporak-porandakan hidup dan hati Sakura kala kepergiannya.
"Hai, apa kabar?" tanyanya sedikit canggung, tak tahu harus bereaksi apa atas pertemuan tak terduga itu.
Sakura menggelengkan kepalanya pelan, menghilangkan banyak pikiran di dalam otaknya dan berusaha untuk tersenyum. "Ya, baik. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga," jawab Gaara canggung. "Ya itu, apa yang kau lakukan di sini, Los Angeles? A-aku, maaf. Aku tidak bisa membayangkannya. Kau meninggalkan Tokyo? Aku sangat terkejut."
"Ya, aku pun terkejut aku bisa di sini. Kau tahu? Aku hanya mencoba memulai sesuatu yang baru, tidak terlihat seperti aku bukan?" ucap Sakura dengan kalimat tanya yang membuat ia mendengus usainya.
Tentu saja, tak ada yang salah namun siapa yang akan mengira seorang Haruno Sakura yang amat luar biasa dengan rentetan prestasi, pengalaman organisasi, magang bahkan riwayat sebagai relawan dalam berbagai aksi bisa berakhir membuka bakery kecil di Los Angeles, meninggalkan kehidupan perkantoran yang begitu ia sukai.
"Kupikir kau melakukannya dengan baik, kau terlihat luar biasa," ucap Gaara dengan senyumannya yang memabukkan, satu-satunya senyuman yang rasanya hanya dilihat oleh Sakura karena hari-hari pria itu lebih banyak memasang tampang datar dan tak bersahabat.
Sakura terdiam sejenak, mengulum bibirnya saat ia mendapati pujian dari pria itu. Bola mata keduanya bertemu sejenak, Sakura tahu ini sedikit menggodanya namun ia buru-buru menggelengkan kepalanya saat ia tersadar dari pemikiran yang sedikit gila. "Maaf, mau pesan apa?"
"Ah ya, aku mau ini," ucap Gaara menunjuk sebuah roti di dalam etalase yang membuat Sakura segera menganggukkan kepalanya, mengambil roti itu lalu memasukkannya ke dalam oven.
Usai memasang timer pada oven, Sakura kembali ke posisinya, bersiap untuk menerima pembayaran namun begitu Gaara mengulurkan tangannya untuk memberikan uang cashnya, Sakura mulai merasa mual, mencium aroma parfum yang dikenakan oleh Gaara, cukup untuk membuat ia menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangannya.
"Sakura? Ada apa?" tanya Gaara penuh tanya, menatap Sakura dengan ekspresinya yang tampak khawatir namun Sakura lebih memilih menggelengkan kepalanya pelan.
"Maaf, tunggu sebentar," ucap Sakura buru-buru berlarian menuju kamar mandi, memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset dan Gaara tak tinggal diam, bergegas untuk menyusulnya.
Melihat Sakura yang tengah muntah, Gaara mendekat dan segera mengusap punggung Sakura dengan lembut, berusaha membantu wanita merah muda itu sampai wanita itu selesai muntah dan membersihkan mulutnya sendiri di wastafel.
"Sakura, kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat," ucap Gaara khawatir, melihat wajah Sakura yang memucat saat keluar dari kamar mandi namun sekali lagi Sakura menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Sakura seolah mempertegas jika dirinya baik-baik saja, sayangnya hal tersebut tidak selaras dengan kondisi tubuhnya, pasalnya tubuhnya begitu lemas dan linglung, cukup untuk membuat ia hampir jatuh jika Gaara tak segera menahan tubuhnya.
"Oke, kau tidak baik-baik saja Sakura. Kau sakit dan kau sangat keras kepala. Kita ke dokter sekarang," ucap Gaara menatap emerald hijau Sakura dengan serius dan Sakura pada akhirnya hanya bisa menganggukkan kepalanya, ia tahu Gaara tak suka dibantah dan Gaara juga benar, tubuhnya tidak baik-baik saja karena ini sudah satu minggu sejak ia mual.
Gaara mengendong tubuh Sakura, membawa Sakura ke salah satu rumah sakit terbesar di Los Angeles untuk mendapatkan penanganan medis. Namun tentunya, sebelum pergi Gaara menutup bakery milik Sakura.
"Gaara, aku sungguh baik-baik saja," ucap Sakura, menatap Gaara yang menurutnya terlihat berlebihan, cukup berlebihan dengan mondar-mandir sebanyak sepuluh kali setelah Sakura diperiksa.
"Sakura, kau selalu mengatakan hal itu bahkan saat kau pingsan karena susu basi," ucap Gaara menatap tajam Sakura, mengungkit kisah lama dimana Sakura jatuh pingsan setelah ujian hanya karena ia minum susu basi dan sebelumnya Gaara sudah memperingatkannya karena ia terlihat pucat. Namun Sakura tetap Sakura yang keras kepala dan kadang Gaara merasa frustrasi karenanya.
"Oke Tuan Sabaku," ucap seorang dokter yang baru saja memasuki ruangan itu, mendudukkan dirinya di kursinya disaat Gaara juga ikut mendudukkan dirinya.
Dokter itu tersenyum, menatap Gaara dengan senyuman itu. "Selamat Tuan Sabaku, istri Anda hamil."
"Hamil?" ucap Sakura dan Gaara secara bersamaan. Sakura terkejut dan pembuluh darahnya terasa akan pecah sementara Gaara lebih terkejut akan fakta itu, mengetahui mantan kekasih yang sudah lama tidak ia temui hamil bahkan di hari pertama mereka bertemu, setidaknya itu membuat suasana diantara mereka menjadi canggung.
"Sakura, kau tidak ingin menceritakannya padaku?" tanya Gaara pelan, tepat lima menit setelah mereka berada di dalam mobil dengan keheningan yang menemani mereka sebelumnya dan Sakura tak menjawab pertanyaan itu.
Gaara menolehkan kepalanya, menatap Sakura dengan intens. "Mungkinkah karena itu kau pergi meninggalkan Tokyo? Karena pria itu tidak bisa menerima bayi ini?"
"Gaara....., aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu jika aku hamil, a-aku, aku...." Sakura menggantungkan kalimatnya, tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya yang kacau balau saat ini sampai air matanya menetes secara perlahan.
"Tidak apa-apa, aku di sini Sakura," ucap Gaara pelan, bersimpati sampai ia membawa kepala merah muda Sakura ke dalam dekapan hangatnya, berusaha memberikan ruang aman bagi wanita itu untuk menangis sejadi-jadinya dan Sakura melakukannya, menangisi kondisinya yang begitu menyesakkan dengan bayi yang tidak pernah terpikirkan akan hadir di dalam perutnya. Jelas, bayi itu milik Sasuke, seseorang yang tidak bisa ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fuzzy Butterfly
FanfictionWanita cantik berbahaya yang dibalut pesona, gambaran yang cocok untuk mendeskripsikan Sakura. Sayangnya karena sebuah kesalahpahaman, Sakura mengira jika dirinya di mata Sasuke, tidak lebih berharga dibandingkan Hinata. Saat perasaan lelah mencinta...