Di tengah hiruk-pikuknya dunia, ada masa dimana Sakura menyakini jika hidupnya seperti menaiki rollercoaster. Satu bulan belakangan ini Sakura memang menikmati hari yang damai meskipun pikirannya rumit namun kali ini, semuanya jadi semakin rumit. Harusnya Sakura tahu sejak awal jika perbuatannya dengan Sasuke pasti akan membuahkan hasil. Ya, hasil yang begitu tak terduga disaat hubungan keduanya jadi begitu rumit.
Kenyataan bayi tak berdosa tengah tumbuh dan berkembang di dalam perutnya, Sakura tidak begitu tahu harus merasa bahagia, marah, sedih atau bahkan kecewa. Tentu saja, mengetahui ada kehidupan lain di dalam dirinya adalah sesuatu yang begitu luar biasa. Namun, Sakura yang paling tahu jika bayi di dalam kandungannya adalah bayinya dengan Sasuke.
Ini rumit dan Sakura tidak begitu tahu bagaimana nasibnya kelak jika Sasuke, Hinata atau bahkan Mikoto mengetahui kebenaran ini. Jujur saja, Sakura ingin melahirkan bayi ini namun terlalu menyakitkan jika nanti bayi ini akan direbut secara paksa darinya.
Sakura terus berpikir selama berhari-hari, berdiam diri di dalam apartemennya dengan tubuh yang tak bertenaga. Ia masih sering muntah di pagi hari dan karena stres, Sakura merasa kondisi tubuhnya semakin buruk. Akan lebih baik jika Sakura punya seseorang yang bersedia menjaganya namun Los Angeles adalah kota asing baginya.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu terdengar, cukup untuk membuat kening Sakura berkedut penuh tanya. Wanita merah muda itu jatuh pada rasa penasarannya terkait siapa orang yang datang mengetuk pintu apartemennya sampai ia tak bisa hanya berdiam diri. Beranjak dari sofa yang ia duduki, Sakura menyeret tubuhnya yang lemas dengan langkah gontai untuk membuka pintu.
"Gaara?" panggil Sakura dengan keterkejutannya, melihat pria dengan rambut merah itu berdiri di depan pintu apartemennya bersama dua kantong plastik yang setia dalam genggaman tangannya.
"Ah maaf, aku ke tokomu tapi berhari-hari tutup. Aku khawatir karena itu aku bertanya pada pemilik toko bunga di samping tokomu. Katanya kau sakit dan ia juga memberikan alamatmu jadi aku kemari," ucap Gaara dengan sedikit sungkan, mengalihkan pandangannya kemana saja asal tidak menatap emerald hijau Sakura.
"Boleh aku masuk?" tanya Gaara kemudian, setelah keheningan yang cukup panjang.
"Ah iya, silahkan," jawab Sakura tanpa aba-aba saat dirinya terlalu bingung untuk merespon apa atas kedatangan pria itu yang begitu tiba-tiba dan tak terduga.
Gaara tersenyum kecil, menganggukkan kepalanya pelan saat Sakura memundurkan tubuhnya, memberi ruang agar pria dengan dua kantong plastik itu memasuki apartemennya sampai tangan mungil Sakura mendorong pintu agar tertutup kembali.
"Maaf tempatku kecil," ucap Sakura pelan, terlalu bingung untuk mengucapkan hal apa saat ini. Sementara langkah kakinya membawa ia untuk mendekati pria merah yang sibuk meletakkan dua kantong plastik belanjaannya itu di atas meja.
Gerakan tangan Gaara terhenti. Secara teratur pria itu menghembuskan nafasnya beberapa kali sebelum akhirnya ia menolehkan kepalanya, menatap Sakura yang kebingungan saat ditatap. Perlahan Gaara mendekat, meletakkan punggung tangannya di kening Sakura yang tersentak karenanya.
"Panas," ucap Gaara pelan.
"Tidak, ak-" Belum sempat rasanya Sakura mengucapkan kalimat sanggahan saat Gaara menuntunnya untuk duduk di sofa dan membaringkan wanita dengan banyak penolakan itu di sana.
"Aku akan menjagamu, istirahatlah," ucap Gaara yang kemudian mengambil plester kompres demam dari dalam salah satu kantong plastik yang ia bawa.
Dengan telaten Gaara memasangkan benda itu di kening Sakura membuat Sakura menatapnya lama. Ini terasa nyaman, sudah cukup lama saat terakhir kali seseorang mengurusnya dan Sakura yakin orang terakhir itu juga adalah Gaara. Perasaan Sakura jadi sedikit sensitif mungkin karena ia sedang sakit dan berada di tempat yang asing, cukup membuat ia sampai tak sadar meneteskan air mata.
"Apa sesakit itu?" tanya Gaara pelan, menahan air mata Sakura dari sudut mata wanita itu menggunakan jari telunjuknya sebelum ia mengusapnya perlahan.
Sakura menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengenyahkan pikiran tidak-tidak yang terbayang di benaknya. Wanita itu pun tersenyum. "Tidak, bukan apa-apa."
"Baiklah, aku akan memasak bubur sebentar. Tidak apa-apa kan jika aku pakai dapurnya?" tanya Gaara membuat Sakura menganggukkan kepalanya pelan karena ia memang tak mempermasalahkan itu.
Gaara tersenyum kecil, hendak beranjak dari posisinya di sisi sofa namun Sakura justru menahan tangannya dan hal itu membuat Gaara mau tak mau menolehkan kepalanya, menatap wajah pucat Sakura kembali.
"Kenapa kau datang untuk mengurusku?" tanya Sakura karena pertanyaan itu memang sudah sewajarnya ia pertanyakan. Tindakan Gaara terlalu baik hingga mungkin saja disalahpahami.
Sekali lagi pria dengan nama lengkap Sabaku Gaara itu tersenyum, menyentuh tangan Sakura hangat Sakura yang menahan tangannya. "Karena aku tidak terlalu menjagamu saat kita masih bersama."
Sakura terdiam, hanya bisa diam seribu bahasa sampai Gaara melepaskan tangannya secara perlahan untuk pergi ke dapur. Gaara memasak bubur di dapur dan itu tak terlalu memakan waktu lama sampai ia kembali untuk menyuapi Sakura dan memberinya obat.
"Apa kau khawatir karena bayi itu?" tanya Gaara tiba-tiba, tepat saat ia meletakkan piring bekas makan Sakura di atas meja kotak berukuran sedang di dekat sofa.
"Aku khawatir tidak bisa menjaganya bahkan mungkin kehilangannya," ucap Sakura sendu, menyentuh perutnya yang masih rata sampai Gaara menatapnya, menatap wajah bahkan mata wanita merah muda itu yang berubah menjadi sendu.
"Apakah dia orang yang berkuasa?" tanya Gaara hati-hati, takut-takut pertanyaannya itu menyinggung perasaan Sakura.
Mendapati pertanyaan Gaara, Sakura berusaha untuk duduk sampai Gaara membantunya untuk duduk. Sakura terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menatap Gaara dan menganggukkan kepalanya pelan, cukup untuk menjawab pertanyaan Gaara dan menerangkan alasan kegelisahannya itu.
"Sakura....," panggil Gaara melembut, menggenggam tangan Sakura perlahan. "Aku tahu ini terlalu cepat dan seharusnya tidak begini. Aku tidak bisa lagi kehilanganmu, aku tahu aku membuat kesalahan karena meninggalkanmu begitu saja tanpa kata. Alasan apapun itu, aku tak ingin mengatakannya. Aku cukup tau dan kau harus tahu jika aku salah."
"Gaara," panggil Sakura pelan, menggelengkan kepalanya sebagai upaya untuk mengatakan jika apa yang dikatakan oleh pria itu tidaklah benar.
Kenyataannya Gaara meninggalkan Sakura memang tanpa kata namun Sakura juga tidak bisa marah. Kesehatan Ayah Gaara pada saat itu memburuk, ia terjebak dalam perselisihan suksesi perusahaan animasi keluarganya. Gaara sebagai putra bungsu keluarga Sabaku harus bertarung melawan kedua kakaknya dan tentunya dengan banyak skema licik yang tak bisa dibayangkan. Meskipun pada akhirnya Gaara kalah dalam pertarungan suksesi itu. Kakak pertamanya yang menenangkan suksesi dan setelah itu Gaara menghilang seolah itu memang keharusan.
"Tidak, Sakura. Dengar, aku tak bisa kehilanganmu lagi. Aku tidak peduli bayi ini bayi siapa, aku akan menerimanya. Aku akan melindungimu bahkan bayi ini karena itu, kumohon menikahlah denganku," ucap Gaara penuh harapan, mengecup tangan Sakura beberapa kali tanpa ada keinginan untuk melepaskannya. Sementara Sakura terlalu terkejut akan permohonan yang begitu tiba-tiba itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fuzzy Butterfly
FanfictionWanita cantik berbahaya yang dibalut pesona, gambaran yang cocok untuk mendeskripsikan Sakura. Sayangnya karena sebuah kesalahpahaman, Sakura mengira jika dirinya di mata Sasuke, tidak lebih berharga dibandingkan Hinata. Saat perasaan lelah mencinta...