12. Bukan Kencan Biasa (1)

134 17 0
                                    

Makan malam, untuk memenuhi panggilan perut Stephanie. Seharusnya Stephanie langsung menolak ajakan Vano untuk berkencan. Namun, perut Stephanie tampaknya lebih ingin bekerja sama dengan Vano, dibanding pemilik perut aslinya. Mau tak mau, Stephanie mengikuti keinginan Vano untuk makan di sebuah rumah makan.

"Si*lan sekali. Aku sekarang, sedang dilanda masalah besar. Lalu kau? Kau malah mengajakku ke tempat seperti ini?" tanya Stephanie ketika kakinya menginjak di sebuah rumah makan.

Cahaya lampu kelap-kelip menghiasi gelapnya malam. Pernak-pernik rumah makan, dan sapaan hangat pelayan membuat Stephanie terdiam tanpa suara. Hanya cacing-cacing di perutnya saja, yang berdemo supaya Stephanie mempercepat langkahnya.

"Tunggu dulu," pinta Vano.

Stephanie berdecak, dan berbalik ke belakang. Dia bertanya, "Apa lagi---"

Sebelum Stephanie menyelesaikan pertanyaan, Vano sudah lebih dulu membungkus tubuh Stephanie dengan sebuah mantel. Bulu-bulu pada mantel itu terkadang membuat hidung Stephanie merasa geli. Namun, bulu-bulu itu juga yang berhasil menyembunyikan wajah Stephanie dari orang-orang yang berjalan.

"Udara di tempat ini semakin dingin. Pakailah, sampai kita tiba di ruangan yang sudah aku pesan," peringat Vano.

Stephanie berkata, "Jika aku memakai ini, mungkin orang-orang akan mengataiku aneh. Karena bulu-bulu menggelikan ini."

Vano tersenyum kecut, dia membalas, "Bukannya kau memang sudah aneh dari dulu? Mungkin, setelan pabriknya?"

Ucapan Vano spontan, membuat Stephanie mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Wajah Stephanie memerah. Dia mendengkus, sampai hawa hangat di dalam tubuhnya bisa terlihat dalam kegelapan malam.

"Kau sangat menyebalkan! Tadi saat rapat, kau hanya duduk diam melihatku ditindas. Selanjutnya kau memaksaku berkencan, dan terakhir kau sekarang bahkan mengejekku! Berapa banyak dosa lagi, yang ingin kau torehkan padaku?!" ucap Stephanie kesal.

Vano menjawab tanpa dosa, "Mungkin sampai kau akan menunaikan kewajibanmu sebagai seorang istri, lalu memberikanku hak atas dirimu sepenuhnya."

Stephanie ingin menampar Vano tepat di antara lampu kelap-kelip. Namun, ucapan Olivia tentang menahan sikap, sebagai seorang artis tertanam jelas di otak Stephanie. Stephanie telah belajar dari kesalahannya. Dia tak mau menambah masalah dengan membuat keributan di tempat ini.

Begitu pula dengan Vano yang diam-diam menjulurkan tangannya ke depan. Vano mengambil tangan Stephanie. Dia mengaitkan kesempuluh jemari tangan agar saling berdekatan, dan menggenggam erat tangan satu sama lain. "Ayo pergi," ajak Vano.

Telapak tangan Vano menyelimuti jemari Stephanie. Rasa dingin karena angin malam, tergantikan oleh hangatnya jemari Vano, ketika menggenggam erat tangannya. Tak hanya itu saja, efek pegangan ini juga merambat pada pipi Stephanie. Diam-diam, Stephanie merasakan pipi mulai memanas. Dia menebak, jika dia bercermin sekarang, mungkin Stephanie akan melihat bayangan sebuah tomat di depan cermin.

"Otakku ingin menolak ajakannya, tapi kenapa hatiku malah menginginkannya? Apa kalian berdua tak bisa bekerja sama dalam membuat keputusan?" rutuk Stephanie pada dirinya sendiri.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang