39. Perasaan Kita (1)

88 24 1
                                    

Lagi-lagi Stephanie tak bisa berdebat dengan Vano. Wanita yang awalnya akan melarikan diri, sekarang terkurung di gendongan Vano. Pria itu menggendong sang istri, dari rumah sakit lalu sampai masuk mobil. Bahkan, ketika turun dari mobil, untuk masuk ke apartemen pun, Vano menggendong sang istri sampai ke ranjang.

"Menyebalkan," satu kata yang Stephanie ucapkan, ketika tubuhnya sudah berada di ranjang milik Vano lagi.

Selain merasa kesal, wanita itu juga mulai merasakan mual yang mengganggu. Dia berulang kali pergi ke kamar mandi, lalu kesalnya lagi, Vano berada di depan kamar mandi untuk mengawasi gerak-gerik Stephanie.

Stephanie mendengkus, setelah keluar dari kamar mandi dia berkata, "Tak bisakah kau membiarkanku tenang sedikit saja? Kau memata-mataiku, bahkan ketika aku sudah sampai di apartemen!"

"Untuk apa kau berdiri menungguiku di sini? Asal kau tahu, bau parfummu membuatku ingin muntah lagi!" gerutu Stephanie lalu kembali merasa mual.

Ucapan Stephanie langsung dimengerti Vano. Tanpa mengatakan apa pun, Vano langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Stephanie langsung keluar dan berbaring lagi di atas ranjang miliknya.

Stephanie menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu, dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sembari mengusap perutnya sendiri. Stephanie bergumam, "Anak ini memang tak memiliki dosa sedikit pun. Tapi aku berniat untuk melenyapkannya. Hanya karena dia mengganggu karirku."

"Maafkan, Ibu," bisik Stephanie pada perutnya sendiri.

Stephanie menyandarkan punggungnya pada ranjang. Sekarang, semuanya sudah terjadi. Dia tak bisa lepas dari Vano lagi. Seolah-olah takdirnya memang terus mengikat bersama Vano. Mau tak mau, Stephanie tak mempunyai pilihan lain. Selain diam, sembari mengusap-usap perutnya.

Beberapa kali, Stephanie sempat memainkan ponsel untuk mencari jadwal kerjanya. Namun, setelah Dino tahu bahwa Stephanie sedang mengandung, manajernya itu hanya memberi salam, dan ucapan bahwa Stephanie akan hiatus dari dunia hiburan.

"Semuanya sudah terjadi. Sekarang? Aku bisa apa?" Stephanie menarik dan mengeluarkan napas panjang. Awalnya memang dia hanya ingin duduk di ranjang, sembari memakan camilan yang ada di nakas.

Sayangnya, sebelum Stephanie menyentuh camilan yang ada di nakas. Pintu kamarnya yang terbuka lebar, memunculkan ibu mertua dan juga adik iparnya. Dengan mata berkaca-kaca, kedua orang itu masuk ke kamar Stephanie, kemudian duduk di samping kursi ranjang, dan berkata, "Selamat Stephanie. Ibu sangat senang mendengar kabar kau sedang mengandung."

Tak hanya ibu mertua Vano saja yang senang mendengar kehamilan Stephanie. Bahkan, Selena pun sampai membawa sekeranjang buah-buahan sebagai makanan Stephanie. Dia mengambil camilan Stephanie yang ada di atas nakas, lalu menggantinya dengan buah-buahan. "Nah, ini lebih sehat Kak Stephanie. Jadi, jangan memakan camilan itu lagi," peringat Selena.

Padahal Stephanie baru saja ingin mencicipi camilan itu. Lalu sekarang? Camilan miliknya sudah menjauh dari jangkauannya. Dia hanya bisa diam, tanpa mengeluh sedikit pun. Lalu mulutnya sendiri terbuka, untuk menerima suapan buah apel yang sudah dipotong Selena.

"Ini adalah sebuah kabar baik. Akhirnya aku akan mendapatkan keponakan juga," ucap Selena sembari memasukkan buah apel ke dalam mulut Stephanie.

Stephanie hanya bisa mengangguk, membuka mulut, dan mengunyah makanannya. Tak ada niatnya sedikit pun, untuk mengatakan jila dia sebenarnya tak ingin mempunyai anak. Entak kenapa, setelah melihat kebahagiaan orang-orang di hadapannya, membuat Stephanie semakin mengurungkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya. "Anak ini terlalu berharga, untuk dilenyapkan," batin Stephanie.

Walaupun waktu semakin larut, tetapi ibu mertua dan adik ipar Stephanie tak kunjung meninggalkan apartemen. Mereka bahkan berniat tinggal di apartemen untuk menemani Vano dan Stephanie.

Kedatangan mereka membuat apartemen menjadi ribut sekaligus hangat. Lalu Stephanie sendiri tak merasa keberatan jika harus tidur ditempeli dua keluarga Vano itu. Karena keduanya memang memperlakukan Stephanie seperti anak di keluarga Vano sendiri.

"Lain kali, jika kau membutuhkan bantuan, panggil ibu saja. Atau, kalau perlu... kau bisa juga tinggal bersama ibu, ya?" tawar Ibunya Vano. Stephanie tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepala.

Kebaikan hati sang ibu mertua, membuat Stephanie lagi-lagi berpikir. Jika tidak menikah dengan Vano, mungkin Stephanie tak akan memiliki ibu mertua sebaik ini. Dengan adik ipar yang mendukungnya sepenuh hati. Keluarga Stephanie saat ini sudah sempurna. Hanya Stephanie sendiri yang tidak menghargai keluarga kecil ini. "Aku lagi yang salah."

•••

My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang