37. Sakit (1)

86 14 0
                                    

"Stephanie, kau masih belum sembuh, tapi berniat untuk ikut berbelanja bersamaku?" tanya Marisa yang saat ini berjalan bersama Stephanie.

Stephanie memakai rambut palsu, dengan masker berwarna putih. Dia menarik dan mengeluarkan napas panjang. Sementara matanya sendiri, sibuk memilih bahan makanan untuknya nanti. "Kau tak berbakat dalam memilih sayuran, Risa. Selain itu, akan lebih bagus lagi jika aku yang membeli sayuran untukku sendiri."

Marisa merotasikan bola matanya, kemudian berkata, "Kau baru satu hari tinggal di rumahku, tapi kelakuanmu seperti pemilik rumah saja. Apa kau masih belum mau pergi dari rumahku?"

Stephanie langsung berkata, "Ayolah, Risa. Jangan seperti itu. Aku hanya akan pergi, jika perasaanku sudah tenang saja. Hari ini, aku masih merasakan dadaku sakit, jika memikirkan tentang Vano."

"Ah. Sudahlah, terserah kau saja. Sekarang pilihlah sayuran yang kau mau, dan ayo kita pergi dari supermarket ini. Aku ingin langsung beristirahat," ucap Marisa.

Stephanie mengangguk, kemudian menunjuk ke setiap bahan makanan yang ingin dia makan. Sementara Marisa sendiri, yang menjadi asisten untuk membawa semua yang Stephanie inginkan. Hal itu membuat Stephanie tersenyum lebar, dan mengajak Marisa untuk berjalan ke arah peralatan rumah tangga.

"Ya ampun. Aku tak membutuhkan alat baru, kau ini---" Belum sempat Marisa menggerutu, Stephanie sudah lebih dulu membalas, "Semua alat ini, akan kupakai untuk memasak. Karena alat di dapurmu sangat sedikit."

"Tapi... kau tenang saja, semua ini akan aku bayar. Jadi, kau tak perlu khawatir. Mengerti?" tanya Stephanie.

Marisa hanya bisa menganggukkan kepala, menyetujui keinginan Stephanie. Setidaknya, walaupun dia saat ini mengeluarkan banyak uang untuk membeli perabotan Stephanie, Stephanie selalu memenuhi janjinya dalam membayar setiap utangnya pada Marisa.

"Stephanie," kata Marisa.

"Hmm?" sahut Stephanie.

Saat sedang membawa troli ke kasir, Marisa meneguk ludahnya sendiri. Dia menyentuh lehernya beberapa kali, kemudian berbisik, "Entah kenapa, dari tadi... aku rasa ada orang yang mengikuti kita."

Stephanie langsung melihat ke belakang. Dia memindai seluruh tempat, sampai akhirnya Marisa menepuk bahunya. "Jangan dilihat juga! Sudah pasti orang yang sedang bersembunyi itu, akan tahu!"

"Mengikuti? Sejak kapan kita diikuti?" tanya Stephanie bingung.

Marisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu dia menjawab, "Sebenarnya, aku juga tak yakin kapan kita diikuti. Tapi, aku mulai merasakan perasaan diikuti ini sejak kita berdua keluar rumah."

Stephanie mengepalkan kedua tangannya. Dia bertanya, "Apa mungkin itu bawahan Vano?"

"Tidak mungkin. Jika mereka bawahan Vano sudah pasti, kau akan ditangkap sejak keluar dari rumahku. Terlebih lagi, perumahan di depan rumahku sangat sepi," lanjut Marisa.

"Lalu siapa? Apa mungkin seorang paparazi? Atau... haters? Tapi... ketika aku menyamar aura artisku hampir tak ada. Seharusnya orang-orang itu tak mengenaliku bukan?" tanya Stephanie.

"Entahlah. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Lebih baik, kita segera pergi," kata Marisa kemudian berjalan lebih cepat lagi.

Salah satu hal yang Stephanie sukai dari Marisa adalah, wanita itu setia kawan. Dia tak pernah meninggalkan Stephanie, meskipun dirinya sendiri sedang berada dalam masalah. Hal itu membuat Stephanie tersenyum senang dan ikut berlari, setelah keluar dari supermarket.

Keduanya terus berlari. Lalu Marisa sendiri mulai berhenti berlari, ketika dia tak melihat bayangan di belakangnya lagi. "Sepertinya, mereka sudah tak mengikuti kita lagi."

"Benarkah? Jadi ada orang-orang yang mengikuti kita?" tanya Stephanie khawatir.

Marisa tak ingin menakut-nakuti Stephanie. Oleh karena itu, dia mengeluarkan napas panjang, dan berucap, "Sudahlah. Ayo lanjutkan larinya lagi."

"Tunggu," kata Stephanie sembari menahan pergelangan tangan Marisa.

"Ya?" tanya Marisa penasaran.

••• 

My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang