05. Lamaran Darurat (2)

149 18 0
                                    

Salah satu orang berniat untuk meminta tanda tangan. Sementara yang lainnya berniat untuk menyentuh Stephanie. Semua orang hanya peduli pada ketenaran Stephanie yang sedang naik daun. Mereka tak mempedulikan kondisi Stephanie yang saat ini sedang terluka.

Sampai akhirnya, Vano menerobos untuk menangkap Stephanie, dan menggendongnya. Vano tak sendiri, karena hanya dalam hitungan detik saja, muncul beberapa penjaga yang sudah siap untuk menjauhkan Stephanie dari kumpulan warga. "Nona Stephanie, sedang terluka. Apa kalian tidak lihat, luka yang berada di kakinya ini sangat parah? Tolong beri jalan, agar Nona Stephanie bisa diberi pengobatan."

Vano bertindak seperti manajer Stephanie. Sementara Stephanie sendiri hanya bisa menunduk, menahan rasa malu sekaligus rasa sakit di kaki. Wanita itu mengunci bibirnya rapat-rapat. Berbeda lagi dengan batinnya yang terus mengomel, "Malu! Malu! Malu!"

Jika ada sebuah ember besar saat ini, ingin rasanya Stephanie memakai ember itu untuk menghalangi wajahnya. Dia tak memiliki keberanian untuk sebatas menatap ke arah Vano sebentar. Bahkan, saat Vano mendudukkannya di kursi mobil. Kemudian melajukan mobilnya menjauh dari Keramaian.

"Kau puas, bertindak gegabah?" tanya Vano.

Stephanie menundukkan kepala dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dia mencoba untuk menahan air mata yang hampir jatuh. Setelahnya, Stephanie memalingkan wajahnya ke arah jendela.

"Kenapa kau berlari dan berteriak-teriak seperti orang g*la? Kau sudah tahu, jika kita pergi ke restoran sepi untuk menyembunyikan statusmu. Tapi kau sekarang, malah menarik perhatian," omel Vano.

Stephanie mendengkus. Dia melihat bangunan-bangunan yang sudah dilewati mobilnya. Baru kemudian berkata," Percuma mengatakan masalahku pada orang yang hanya bisa mengomel saja."

"Kau tak akan mengerti masalahku," ungkap Stephanie.

Vano tiba-tiba berhenti di sebuah jalan sepi. Stephanie mengernyitkan kening, karena Vano menepihkan mobilnya ke sisi jalan. Bahkan, pria itu mulai melepas sabuk pengaman mobilnya. Baru kemudian mendekat ke arah Stephanie.

"Benarkah?" tanya Vano.

Stephanie langsung berbalik ke samping, saat merasakan gerakan Vano mendekat ke arahnya. Wanita itu menatap Vano dengan mata memelotot. Dia mencoba menahan bahu Vano supaya tidak mendekat ke arahnya. Namun, Vano malah semakin maju, sampai Stephanie memundurkan punggungnya sampai pintu mobil.

"Kau! Kau! Kau mau apa? Jangan mendekat! Jangan mendekat!" peringat Stephanie.

Vano tak mendengar apa yang Stephanie katakan. Pria itu malah semakin mendekat. Dia menyentuh pinggang Stephanie, sembari memindai tubuh wanita itu. "Kau bilang, aku tak mengerti masalahmu?" tanya Vano.

Stephanie meneguk ludahnya sendiri. Jantungnya terus berdetak semakin kencang, apalagi ketika jemari Vano merambat untuk menyentuh pinggang, lalu turun ke bawah hingga berhasil menyentuh paha dan betis. Setelah itu, Vano menarik dan menggeser tubuh Stephanie. Sampai salah satu kaki wanita itu mendarat di bahu Vano.

Stephanie mencoba bangkit, dari posisi yang sulit ini. Dia menahan bahu Vano, sembari berteriak, "Kau... kau ingin melakukan apa s*lan?! Untuk apa kau membawaku ke tempat sepi seperti ini?! Jangan bilang... jangan bilang... kau ingin... kau ingin mengulang malam itu kembali hah?!"

Stephanie tanpa malu-malu langsung mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Sementara Vano sendiri malah tersenyum, dan mengambil kotak obat. Pria itu membuka kotaknya, sembari menunjuk luka di lutut dan kaki Stephanie. "Aku hanya ingin mengobatimu."

Stephanie menatap nyalang ke arah Vano. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian memukul-mukul dada Vano. "Kau ingin mengobatiku dengan posisi seperti ini? Memang kau---"

Belum sempat Stephanie mengakhiri ucapannya, Vano sudah lebih dulu berkata, "Memangnya kau berpikir tentang apa? Kau ingin aku masuk---"

Stephanie langsung menurunkan kakinya. Dia berniat untuk membenarkan posisinya. Meskipun pada akhirnya, Vano kembali menariknya untuk semakin mendekat. Pria itu meminta Stephanie menjulurkan kedua kakinya dan menaruhnya di paha Vano. Sementara Vano sendiri mulai mengobati lutut Stephanie.

"Jika kau bertindak semakin nakal, aku tak segan-segan memajukan tanggal pernikahan kita," ujar Vano.

Stephanie berdecak, kemudian berkata, "Kau tak bisa melakukan hal itu. Lagi pula, jadwalku padat dan kau sudah merencakan pernikahan---"

Vano meremas betis Stephanie, sampai Stephanie terdiam. Pria itu tersenyum tipis, kemudian berucap, "Memangnya apa yang tak bisa aku lakukan padamu? Aku adalah bossmu. Menikahimu hari ini juga, bukan hal yang sulit untukku. Lagi pula, kita sudah mempersiapkan semuanya bukan?"

"Itu mustahil, " balas Stephanie.

Stephanie memalingkan wajahnya ke arah lain. Lalu setelahnya, dia merasakan bibir Vano mendarat tepat di atas lututnya yang baru diobati. "Stephanie Boo, maukah kau menjadi istriku dan menemaniku seumur hidupmu?"

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang