35. Kenangan (1)

80 16 0
                                    

"Stephanie!"

Tetesan air hujan yang membasahi kepala tak dipedulikan Vano. Vano lebih tertarik untuk menarik dirinya ke kerumunan orang di tengah jalan. Detak jantungnya berdetak kencang, bersamaan dengan keningnya yang mengernyit. Dia terus berlari ke depan, sampai akhirnya langkahnya terhenti, ketika beberapa orang membawa wanita itu.

Orang-orang bergosip, "Di hujan seperti ini, tak aneh jika kecelakaan terjadi."

"Selain terken air hujan, dia juga sepertinya linglung. Jadi, tak bisa melihat kendaraan lewat."

"Parahnya lagi, kendaraan yang telah menabraknya tidak bertanggung jawab atas kecelakaannya."

"Sang pelaku sudah lebih dulu melarikan diri."

"Kasian sekali wanita ini."

Vano awalnya merasakan tubuhnya bergetar hebat. Namun, ketika tubuh wanita itu diangkat, dia baru sadar, jika wanita itu bukan Stephanie. Melainkan wanita asing lain. "Bukan Stephanie? Jadi, Stephanie sekarang di mana?"

Vano menundukkan kepala, untuk melihat sepatu hak tinggi milik Stephanie. Dia menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu, Vano melirik ke kanan dan ke kiri. Dia masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan Stephanie, selain sepatunya yang tertinggal. "Stephanie, kau di mana?"

Di sisi lain ada Stephanie yang tengah bersembunyi di balik tong sampah besar. Dia melirik ke arah kerumunan orang yang baru saja mengangkat seorang wanita. Setelah itu, Stephanie melihat ke bawah. Di sana kakinya tidak dilindungi oleh sepatu lagi. "Astaga. Ini benar-benar hari kesi*lanku. Sepatuku terlepas, dan aku tak sempat mengambilnya karena terburu-buru. Lalu sekarang? Aku harus pergi ke mana? Aku tak ingin melihat wajah pria bre*ngsek itu lagi."

Stephanie merenung untuk beberapa saat. Selain itu, dia juga harus menahan napas supaya tidak mencium bau sampah. Ketika sebuah mobil ambulans datang, dan menghalangi tong sampah dari arah pandang Vano, Stephanie langsung berlari tanpa mempedulikan kakinya yang berjalan tanpa alas kaki.

Awalnya Stephanie ingin memesan taksi online lalu pulang ke rumah ibunya saja. Namun, sudah dipastikan jika ibunya akan mendapatkan sihir kebohongan dari Vano. Wanita itu juga pasti akan memarahinya karena hujan-hujanan dan melarikan diri dari Vano.

Jadi, dibanding dimarahi, Stephanie memilih untuk mencari tempat berlindung lain. "Haruskah aku menyewa rumah saja?"

Niat Stephanie langsung berubah, ketika dia melihat bawahan Vano sudah menyebar mencari Stephanie, ke lorong-lorong kecil. Hal itu membuat Stephanie meneguk ludahnya sendiri. Dia berdecak, dengan kedua tangan mengepal kuat. "Ck, sebenarnya apa yang diinginkan pria itu dariku. Apa tidak cukup, dia menipuku untuk dijadikan bahan taruhan semata? Dia pikir aku wanita seperti apa? Wanita yang akan diam, meskipun tahu kebenaran?"

"Hah! Menjijikan. Aku tak akan mau bersama dengannya lagi," gerutu Stephanie kesal.

Ketika Stephanie tengah bingung, mencari jalan keluar. Dia baru teringat pada rumah Marisa yang berada di sekitar tempatnya berada. Langsung saja, Stephanie berlari lalu mengendap-endap ke depan pintu Marisa. Kemudian menekan bel beberapa kali.

Jantung Stephanie berdetak dua kali lebih cepat, menunggu pintu rumah Marisa terbuka untuk menerimanya. Setelah itu, dia menyatukan kedua tangannya di depan dada. Baru kemudian, pintu terbuka lebar, menampilkan penampakan Marisa dengan kening mengernyit. Wanita itu memandang Stephanie dari bawah hingga ke atas. "Apa yang terjadi denganmu? Kau saat ini tampak seperti gelandangan yang mencoba mengemis di depan pintu rumahku."

Jika bukan karena butuh, Stephanie pasti akan mencakar wajah Marisa saat ini. Namun, Stephanie malah mengangguk setuju, dan tanpa izin masuk kemudian menutup pintu Marisa. Dengan napas terengah-engah, Stephanie berkata, "Pokoknya bantu aku! Mau kau anggap diriku gelandangan atau pengemis sekali pun, aku tak peduli. Sekarang, keselamatan hidupku bergantung padamu."

"Hah?" Perkataan Stephanie membuat Marisa bingung sendiri.

•••

My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang