15. Malam Panjang (2)

209 17 0
                                    

Vano tak enak hati, melihat sang istri begitu kesakitan. Namun, dia juga terlalu tanggung untuk mengakhiri pegumulan mereka terlalu dini. Pada akhirnya, yang bisa Vano lakukan hanyalah membisiki kalimat penenang, sembari mengecupi wajah sang istri.

Selanjutnya hanya ada suara napas yang bersahutan, terhubung dengan kedua tubuh yang menyatu di bawah cahaya lilin. Vano menarik kedua sudut bibirnya ke atas, ketika sang istri mulai terbiasa dengan gerakannya. Stephanie berusaha menahan suaranya untuk tidak mendesah, tapi kedua tangan Vano semakin menekan pergelangan tangannya ke ranjang. "Keluarkan, jangan ditahan lagi," peringat Vano.

"Si*l! Kau semakin menyebalkan, Pak! Aku membencimu!" ungkap Stephanie merasakan keperkasaan sang suami, menerobos semakin dalam pada tubuhnya.

Vano hanya bisa tersenyum, dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Perlahan dia melepas kedua tangan sang istri, kemudian merambat untuk menyentuh dan membelai wajah Stephanie. Jari jemarinya membuang setiap helaian rambut yang menghalangi wajah sang istri. Setelah itu, dia berhenti tepat di bibir Stephanie, untuk mengusapnya sebelum mencuri satu kecupan. "Cantik."

Wajah Stephanie memerah. Dia ingin memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, tangan Vano menahan wajahnya agar tetap melihat ke arahnya. Wanita itu meringis, bersamaan dengan gerakan Vano yang semakin berambisi mengambil alih tubuhnya. Stephanie meremas sprai, apalagi ketika melihat bola mata Vano hanya tertuju padanya.

Perlahan tapi pasti, jari jemari Vano turun ke leher, lalu berhenti tepat di kedua pucuk bunga yang ada pada puncak kemekarannya. Vano tersenyum, kemudian mengecup buah dada sang istri. Baru memasukkan ujungnya ke dalam mulut. Dia semakin membuat tubuh Stephanie bergerak lemah, merasakan hisapan sekaligus kehangatan sang suami melingkari pucuknya.

"Vano!" teriak Stephanie.

Hisapan terakhir, dan Vano mengantar Stephanie menuju puncaknya. Pada akhirnya, Vano berhenti sebentar, untuk membiarkan sang istri merasakan pelepasannya. Dengan napas terengah-engah, Stephanie menutup wajahnya. Wanita itu begitu malu dengan pelepasannya sendiri. Apalagi dia sempat berteriak memanggil nama suaminya dengan kencang.

"Berbaliklah," pinta Vano.

Walaupun Stephanie terpaksa melakukan ini, tapi wanita berpipi tembam itu menuruti keinginan sang suami. Dia membalikkan tubuhnya, sampai sang suami kembali menghubungkan tubuh satu sama lain. Pria itu menerobos dari belakang tubuh Stephanie. Sementara jari jemarinya memelintir kedua puncuk bunga milik Stephanie.

Dalam posisi ini, Stephanie bisa merasakan perjuangan Vano untuk menyentuhnya lebih kuat. Wanita itu tak sanggup menahan suara, hingga desahannya terdengar jelas di telinga Vano. Semakin Stephanie bersuara, semakin keras juga dorongan keperkasaan Vano pada inti tubuhnya.

"Kau menyukainya?" bisik Vano.

Kepala Stephanie bergeleng, tapi suara desahannya mengeras. Sejujurnya, pergulatan ini tidak akan terjadi, jika Stephanie tidak menggoda dan menyerahkan diri kepada Vano. Kalau saja, Stephanie sebelumnya tidak terpengaruh ucapan mertuanya, mungkin dia tidak akan mengenakan gaun malam, lalu diserang Vano.

Meskipun pada akhirnya, sehelai gaun pun tak ada yang berhasil menutup tubuh Stephanie, saat Vano bergerak di dalamnya.

"Vano! Vano!"

Jeritan terakhir, dan Stephanie bisa merasakan benih sang suami membasahi rahimnya. Wanita itu mengerutkan kening, dengan napas terengah-engah. Dia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, meskipun pada akhirnya, Stephanie bisa merasakan bibir Vano mendarat di bibirnya untuk mengajaknya bersentuhan.

Mau tak mau, Stephanie menuruti keinginan sang suami. Dia mengecap rasa lembut bibir Vano, sampai Vano menekan tubuhnya ke ranjang. Kedua insan itu baru berhenti berciuman, ketika Stephanie memukul-mukul dada Vano karena sesak napas. Setelahnya, Vano melepaskan bibirnya, baru kemudian mengecup kening Stephanie sekilas. "Terima kasih untuk malam ini."

Stephanie memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tak bisa memperlihatkan wajah memerah, dengan bibir yang membengkak. Padahal dulu dia pernah berada satu ranjang dengan Vano. Namun, anehnya dia merasakan rasa sakit yang sangat sakit. Seolah-olah ini adalah kali pertama mereka berhubungan suami istri.

"Kau ingin membersihkan tubuh sendiri, atau ingin membersihkan tubuh bersama-sama?" ucap Vano.

Stephanie tak menjawab, dan itu membuat Vano gemas. Pada akhirnya, Vano mengangkat tubuh Stephanie, untuk menggendongnya ke kamar mandi. Stephanie memeluk leher Vano, dan berkata, "Hanya membersihkan diri saja, jangan lakukan ini lagi. Aku lelah."

"Hmm." Vano benar-benar membantu Stephanie membersihkan diri. Meskipun terkadang, dia menjaili istrinya yang tak mempunyai tenaga untuk melawan. Pada akhirnya, pria itu kembali ke tempat tidur, dengan tubuh istrinya yang dia gendong.

"Kau tunggu dulu di sofa, aku akan membersihkan tempat tidur dulu," ucap Vano sebelum menurunkan Stephanie di sofa. Stephanie mengangguk, sembari membungkus tubuhnya dengan handuk. Dia diam-diam melihat ke arah ranjang, tempatnya selesai bergumul. Awalnya Stephanie masih bisa menahan malu, tapi ketika matanya melihat ke arah tubuh telanjang Vano, dengan bagian bawah dilingkari handuk, membuat Stephanie kembali merasakan wajahnya terbakar rasa malu.

Stephanie terdiam. Awalnya dia ingin memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, tiba-tiba matanya menyipit. Dia melihat sebuah noda merah, yang berada di sprai kotor. Stephanie mengernyitkan kening, "Darah? Apa itu darahku? Tapi, bukannya kami sudah melakukan--- Tunggu, jangan-jangan ini memang kali pertamanya aku dimasuki?!"

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang