35. Kenangan (2)

89 20 0
                                    

Tubuh Stephanie diselimuti selimut tebal, bersamaan dengan kakinya yang masuk ke air hangat di dalam wadah. Wanita itu menggigil kedinginan. Dia terburu-buru menyeruput teh hangat di depannya, baru kemudian menyelimuti tubuhnya dengan selimut juga. Setelah itu, Stephanie merasakan sesuatu yang dingin menempel di keningnya, setelah Marisa menempelkan sebuah benda penurun panas.

"Kau sudah gil*? Kau tahu jika main hujan-hujanan seperti ini akan membuatmu sakit, tapi kau masih bermain juga," gerutu Marisa.

Stephanie menundukkan kepala, kemudian terisak. Dia mengungkap, "Ya, aku memang sudah g*la. Ini karena pria itu menipuku mentah-mentah. Dia hanya menjadikanku barang taruhan, Risa! Coba bayangkan, barang taruhan!"

Marisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu, dia menjawab, "Jadi? Kau langsung kabur tanpa meminta penjelasan atau kepastian dari pria itu?"

Stephanie menatap nyalang ke arah Marisa, dan bertanya, "Bagaimana bisa aku meminta penjelasan, jika jawabannya sudah kudapat di depan mataku sendiri? Pria itu memang hanya ingin memanfaatkanku saja! Dia ingin membuktikan dirinya berkuasa, oleh karena itu dia memilikiku."

Marisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu dia berkata, "Tapi, Boo, Pak Vano mengurusmu tanpa menyakitimu sedikit saja, bukan? Dia juga membantu keluarga, dan bahkan memberikan harta kekayaannya untuk membahagiakanmu. Selama ini, kau senang hidup dengannya. Jadi apa salahnya, meneruskan pernikahan kalian ini?"

Stephanie langsung berdecak, dan berkata, "Tapi, perkataannya bahwa dia telah menjadikanku barang taruhan, malah membuatku sakit hati. Dia pikir aku barang?"

Marisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. "Sepertinya, memang percuma untuk bicara denganmu, ketika kau sedang marah seperti ini. Jadi, beristirahat saja untuk saat ini. Aku tak akan mengungkapkan masalah ini, ketika kau masih marah seperti ini."

"Ya. Aku saat ini butuh ketenangan dan tidur nyenyak," ucap Stephanie.

Marisa merotasikan matanya, kemudian berkata, "Ya, ya, ya kau sangat senang membagi masalahmu denganku."

Stephanie tersenyum tipis, lalu menjawab, "Risa, hanya kau saja teman yang tak pernah menempeliku seperti seorang benalu. Kau selalu ada ketika aku senang dan sedih. Terima kasih, nanti... nanti... nanti.. jika aku mendapatkan penghargaan, dan gaji lagi, akan kutraktir kau pergi ke bar!"

Ucapan Stephanie langsung membuat Marisa terburu-buru menggelengkan kepala. "Tidak! Terima kasih! Aku tak sudi pergi ke tempat itu bersamamu lagi! Bukannya merasa tenang, dan memenangkan pikiran, kau malah membuat hidupku semakin susah!"

"Aku masih ingat, saat kau mabuk dan mengacaukan semua hariku saat itu! Apa kau masih belum kapok juga?" tanya Marisa.

Stephanie terdiam kemudian menjawab, "Kapok, sih. Tapi kan itu, dulu... saat aku minum. Nanti, aku janji tak akan minum, dan menyewa tempat itu khusus untuk dirimu saja. Bagaimana?"

"Ya. Terserah kau saja. Kali ini, aku hanya ingin hidup tenang dan cukup tidur saja. Kau pun harus begitu, beristirahatlah supaya kau cepat sembuh, dan pergi dari rumahku," peringat Marisa.

Stephanie langsung memelototkan matanya, dan mengomel, "Kau sepertinya sangat ingin mengusirku dari rumah ini."

"Ya. Tentu saja," jawab Marisa.

Stephanie menurunkan sudut bibirnya. Namun, tak lama kemudian dia tersenyum dan berkata, "Walaupun ketus, tapi kau teman terbaikku Marisa. Kau tak pernah menyembunyikan sikap aslimu di depanku. Itu yang membuatku senang memiliki teman sepertimu."

•••

My Boss My Boo #Verkwan [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang