10. Like We Just Met

59 9 3
                                    

🍁🍁🍁

Pagi selanjutnya.

Sakura tak punya teman dekat perempuan yang bisa diajak curhat, makan bareng di kantin atau sekedar berdiskusi soal pelajaran di kelas.  Kalau cowok ada sih satu.

Percaya atau tidak, nyatanya begitu. Dua alasan; reputasi Sakura yang sudah terkenal buruk jadi membuat orang lain enggan mendekat. Alasan lainnya karena Sakura memang tak suka yang namanya hubungan sosial bersama manusia, menurutnya ribet, TONGKRONGAN SENDAKALA dikecualikan.

Untung di kelas ini meja dan kursi dibuat satu murid mendapat satu, jadi tak ada yang namanya teman sebangku. Sakura bersyukur.

Tambah bersyukur karena sekarang jam kosong berkunjung, Sakura tanpa basi-basi langsung keluar kelas, menyusuri lorong dan menaiki tangga agar bisa membawanya ke rooftop.

"Capek."

Bukan karena kakinya melewati banyak anak tangga, tapi Sakura lelah karena urusannya yang lain.

Rooftop sekolah selalu jadi tempat favoritnya, karena sepi tentunya, dirinya juga bebas setiap kali di sini, serasa lebih dekat dengan langit. Apalagi ada angin, satu-satunya sahabat yang setia.

Menutup pintu rooftop, Sakura berjalan mendekati pembatas beton lalu menyandarkan raganya.

"Bokap lo masih belum nerima lo jadi anaknya?" Suara lelaki yang terkesan pelan, namun membuat Sakura terkesiap.

"Oh, Kak Suna. Kirain siapa, ngagetin lo."

"Gak usah pake embel-embel 'Kak' tiap kali kita cuma berdua. Lupa?"

"Ah iya, refleks aja."

Mendekat, Suna kini berdiri di sebelah Sakura dan ikut bersandar pada pembatas untuk menatap lapangan kosong di bawah sana.

"Lo dipukul lagi." Jemari cowok itu menyentuh pelipis Sakura yang masih ada lebam, lalu turun ke rahang, gerakan yang pelan.

Sakura tak terganggu, malah sentuhan Suna amatlah ringan seperti hembusan angin.

"Apa gue terlalu menjijikkan walau cuma jadi anak angkatnya?"

"Nope."

"Tapi kenapa Papa masih belum sayang ke gue, Rin?"

Rintaro, atau Rin, saat sedang berdua seperti ini Sakura lebih nyaman memanggil cowok itu dengan sebutan namanya langsung.

"Waktunya belum dateng berarti. Tunggu sebentar lagi, lo gak sendiri. Ada gue."

Itu bukanlah sekedar kalimat penenang, Suna sungguh-sungguh mengatakannya, karena tahu ... kalau Sakura sangat membutuhkan dukungan walau cuma dari satu orang, jika Suna hanya bungkam pasti pikiran Sakura yang liar malah akan bahaya jika dibiarkan.

Contohnya, bisa saja sekarang Sakura terjun dari tempatnya untuk mencari jalan keluar.

Suna menjadi satu-satunya orang luar yang tahu status Sakura di keluarga Sugawara, bahkan kakaknya sendiri, Koushi pun tak tahu. Berarti cuma kedua orang tuanya, Sakura dan Suna yang tahu.

TONGKRONGAN SENDAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang